Cahaya senja masuk dengan leluasa ke dalam kamar Dava melalui jendela-jendela bening nan besar. Dava mengambil handphone dari saku celananya. Lalu mengirimkan pesan kepada gadis yang selalu hadir di pikirannya.
To : Cewek Kacang
“Kalo lo udah pulang, cepetan ke balkon kamar lo, gue tunggu. Sekarang.”
Selesai mengirimkan pesan singkat itu Dava segera berjalan ke arah balkon kamarnya. Ia berdiri di pinggir balkon itu yang dibatasi oleh pagar hitam setinggi perutnya.
“Itulah mengapa Mama batalin perjodohan Dava dan Kania. Mama ga mau mereka akan terluka lebih dalam.”
Mama Dava telah menceritakan semuanya kepada suami yang telah ia kenal lebih dari 20 tahun itu. Air mata menetes di pipinya. Tidak mudah untuk mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Sebagai seorang Ibu, Mama Dava hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk anaknya.
“Harusnya dari dulu Mama cerita. Sebagai suami-istri kita seharusnya berbagi, Papa ga tega lihat Mama menanggung kesedihan ini sendirian. Mama harus ingat, Papa akan selalu ada buat Mama. Tapi, menurut Papa sebaiknya kita cari tahu semuanya biar lebih jelas.” Kata Papa Dava sambil menenangkan istrinya itu.
“Maafin Mama, Pa. Tapi kayanya kita ga usah ngelakuin apa pun. Semuanya terlalu aneh jika dianggap suatu kebetulan. Sekarang Mama cuma ingin mereka bahagia.”
Papa Dava meraih tubuh Mama Dava. Memeluknya erat.
“Meskipun Papa adalah Papa tirinya Dava, tapi Papa sangat sayang sama Dava. Dava sudah menjadi separuh hidup Papa dan kebahagiaan Dava adalah yang utama bagi Papa.” ucap Papa Dava yang membuat tangis istrinya itu pecah.
Butiran bening itu jatuh dan membasahi kemeja Papa Dava. Kenyamananlah yang Mama Dava rasakan dalam pelukan hangat suaminya itu. Papa Dava melepaskan pelukannya. Ia menatap dalam mata istrinya. Dihapusnya air mata yang telah membuat mata istrinya itu sembab. Lalu kecupan sayang ia luncurkan ke kening wanita berparas ayu itu.
10 menit telah Dava habiskan untuk menanti Kania. Akhirnya gadis bermata cokelat itu muncul dari balik pintu. Ia berdiri di pinggir balkon sama halnya dengan Dava. Senyuman manis pun ia berikan pada lelaki yang ia cintai itu.
Dava menelepon Kania melalui handphone yang ia genggam sedari tadi. Dengan cepat Kania mengangkat telepon itu. Dava memulai.
“Halo Kania. Dari mana lo?”
“Dari rumah Lily. Ngapain lo nyuruh gue ke balkon? Pake acara telpon-telponan pula kan kita bisa ngomong langsung. Dasar aneh!” cerocos Kania.
“Aduh, satu-satu napa? Lo itu ya! Eh, gue mau ngomong nih.”
“Ya ngomong aja. Kayanya serius banget.”
Dava menarik napas panjang.
“Gue pernah liat iklan di tivi, katanya minyak dan air itu ga bisa bersatu. Lo tau kenapa? Karena mereka berbeda. Tapi meski berbeda, mereka masih bisa berdampingan. Gue harap kita bisa seperti minyak dan air. Kita sama-sama tau kan, saat ini keadaan memaksa kita untuk ga bisa bersatu.”
“Gue ga mau seperti minyak dan air. Karena selamanya minyak dan air ga akan pernah bisa bersatu.” Mata Kania mulai berkaca-kaca menatap Dava dari kejauhan.
“Yaudah kalo gitu kita jangan seperti mereka. Kita cari cara supaya bisa sama-sama. Tapi sebenernya ada hal yang jauh lebih penting yang mau gue kasih tau sama lo.”
“Apaan?”
“Tadi Mama nyuruh gue tunangan sama Ratu. Gue ga tau ada angin apa tiba-tiba Mama ngomong itu ke gue.” ungkap Dava.
“Tunangan sama Ratu? “ tanya Kania terkejut.
“Iya...”
“Kenapa jadi kaya gini sih, Dav? Gue ga ngerti sama Tante. Kenapa Tante ngelakuin ini semua? Kasih tau gue, apa yang harus gue lakuin, Dava.”
“Kania, dalam hidup ini Tuhan adalah sutradara dan kita adalah pemainnya. Jadi kita jalani aja skenario yang udah Tuhan kasih untuk kita. Percaya deh, kita pasti akan bahagia karena kita memang pantas bahagia.”
“Tapi kapan?” suara Kania melemah.
“Gue ga tau kapan. Tapi yang jelas hingga sekarang gue masih sayang sama lo, sayang banget.” ucap Dava memberikan penekanan pada kata sayang.
“Gue juga sayang banget sama lo, Dava.”
******
Dava telah berpakaian rapih dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dan celana jins kesayangannya. Ia mengambil ransel yang berada di kursi lalu berjalan keluar kamarnya.
“Dava, sarapan dulu sayang.” teriak Mamanya usai Dava menuruni tangga.
“Ga usah, ma. Dava sarapan di kampus aja.” jawab Dava dingin.
Papa Dava yang sedang makan nasi goreng di meja makan menoleh pada istrinya yang sedang mengoleskan selai pada roti. Mama Dava hanya tersenyum pahit. Ia tahu Dava masih marah padanya. Dava pergi ke kampus dan seperti biasanya ia menjemput Kania terlebih dahulu.
Kania dan Dava telah tiba di kampusnya. Kania turun dari motor Dava.
“Gue duluan ya.”
“Eh, tunggu. Barengan aja kenapa sih?” Dava menarik lembut lengan Kania.
“Aduh, gue ada urusan nih. Udah ya, daaah.” Kania melambaikan tangannya pada Dava.
Kania berjalan sendirian sambil membawa dua buku tebal dalam pelukannya. Lalu ia berpapasan dengan seorang wanita imut berambut pendek. Wanita itu tersenyum ramah pada Kania begitupun juga lelaki berkulit putih di sampingnya. Kania membalas senyum mereka. ‘Nabila...’ batin Kania.
Kemudian Kania membalikkan badannya untuk melihat mereka yang semakin menjauh. Kania teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Nabila adalah wanita yang ia lihat sedang bersama Dava di loker. Kania tahu betapa kecewanya Nabila atas penolakan Dava dulu. Sekarang sepertinya Nabila telah menemukan pengganti Dava dan mereka terlihat bahagia. Sedangkan Kania? Ia masih kebingungan atas hubunganya dengan Dava. Kania tersenyum getir memandang Nabila dan lelaki itu yang berjalan bergandengan tangan. Kania kembali membalikkan badannya dan melanjutkan perjalannya. Kepalanya tertunduk lesu.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
28 September 2014
Read the rest ^,^
Minggu, 28 September 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : X
Minggu, 21 September 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : IX
"Gue terlalu sibuk sampai-sampai ga sempat untuk mikirin kesedihan gue sendiri. Gue terlalu merasa nyaman sampai akhirnya gue sadar kalo semua ini udah beda, ga sama seperti dulu." ungkap Kania.
Lily hanya diam menatap sedih temannya itu. Ia masih menunggu Kania melanjutkan kalimatnya.
"Ly, jujur, gue bener-bener bingung. Gue ngerasa aneh. Gue merasa ada yang hilang tapi gue ga tau apa itu dan hingga sekarang gue belum menemukannya. Gue akui gue sedih dengan situasi saat ini karna ga bisa dibohongi kebersamaan gue dan Dava selama ini begitu berarti buat gue. Mungkin rasa itu masih ada di antara kami, tapi apa mungkin kami bisa bertahan dengan kondisi seperti ini?"
"Kita ga pernah tau apa yang akan terjadi. Seperti burung yang udah tinggal di sarangnya sejak ia masih menjadi telur hingga menetas lalu terus tumbuh dan berkeliling mengitari alam ini pada akhirnya ia akan kembali ke sarangnya itu. Percaya deh, jodoh ga akan ketuker." ucap Lily.
Di sebuah ruangan luas yang dipenuhi berbagai gaun yang terpajang rapih di setiap sudutnya tampak seorang wanita cantik mengenakan dress merah selutut sedang berkutat dengan pekerjaannya. Ia duduk di balik meja kerjanya yang berbentuk setengah lingkaran. Tangan kanannya asyik menari-nari menumpahkan ide-idenya di atas selembar kertas putih. Desain baju yang ia buat begitu cantik. Lalu ia berhenti dan berdiri, berjalan mendekati jendela besar yang ada di ruangan itu.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mama Dava membatalkan perjodohan ini? Tunggu...'
Matanya berputar dan mencoba mengingat-ingat sesuatu.
'Mamanya Dava menjadi aneh sejak dia menolongku waktu itu. Aku harus mencari tahu apa yang membuatnya berubah pikiran!' batin Mama Kania lagi.
"Ly, gue pulang ya udah sore nih." ucap Kania saat melihat jam tangannya.
"Wah, ga kerasa udah sore aja."
Kania pun memeluk Lily. "Makasih ya lo udah mau dengerin curhatan gue."
"Iya sama-sama. Inget kata-kata gue tadi. Lo hati-hati ya nyetirnya."
Keduanya pun berjalan keluar rumah. Kania mengambil kunci mobil di dalam tas hitam kecilnya.
"Dava, kita kan udah beberapa bulan ini sama-sama, kok lo masih agak dingin sih sama gue?" tanya Ratu pada lelaki beralis tebal itu.
"Emangnya gue harus gimana? Kan lo tau sendiri orangtua kita yang berusaha deketin kita. Udah deh ga usah drama. Santai aja."
Kemudian mereka beranjak dari meja makan itu dan berjalan menuju kedua orangtuanya yang sudah menunggu mereka di dalam mobilnya masing-masing.
"Om, Tante, duluan ya." pamit Ratu saat ia melewati mobil Dava.
Ratu memasuki mobilnya dan di dalamnya sudah ada sang Papa. Mobil itu pun berjalan meninggalkan mobil Dava yang berada di belakang.
"Gimana sayang hari ini?" tanya Papa Ratu.
"Ratu seneng banget Pa hari ini. Makasih udah ajak Ratu dan Dava makan siang." ujar Ratu sumringah.
"Sama-sama sayang."
Senyum Ratu mulai memudar. "Tapi Pa, kok Dava masih cuek ya sama Ratu?"
"Hemm, apa perlu Papa melakukan sesuatu?" tawar Papa Ratu.
"Ga usah, Pa. Belum saatnya. Kalo Ratu udah ngerasa ga sanggup lagi, Ratu bakalan bilang kok sama Papa."
"Kamu harus ingat, Papa akan melakukan apapun supaya kamu bahagia."
Ratu tersenyum lega mendengar ucapan Papanya. Matanya berbinar memandangi jalanan yang ada di depannya.
******
Mobil sudah terparkir di pekarangan rumah Dava. Papa dan Mama Dava keluar dari mobil dan memasuki rumah, namun lain halnya dengan Dava. Dava lebih memilih pergi ke rumah Kania.
Ketika hendak membuka pagar rumah Kania, ia tersadar bahwa pagar itu digembok dan itu artinya tidak ada orang di sana. Dengan kecewa Dava kembali ke rumahnya.
"Dava." panggil Mama.
Papa dan Mama Dava sedang duduk santai di sofa ruang tivi. Dava segera duduk di samping mereka.
"Dava. Ada yang mau Mama katakan."
"Apa?" tanya Dava cuek.
"Sayang, gimana kalo kamu bertunangan dengan Ratu." ucap Mama Dava tenang yang membuat Dava bagai mendengar petir tepat di atas kepalanya.
"Tunangan? Ratu?" kata Dava terkejut.
"Iya, sayang." ucap Mama Dava lagi.
Papa Dava hanya diam. Tampak raut wajahnya kurang setuju dengan tindakan istrinya.
"Ma, Dava ga cinta sama Ratu dan Dava belum mau tunangan!"
"Ini cuma sebagai pengikat kamu dan Ratu aja kok. Kalo masalah cinta kamu tenang aja. Seiring berjalannya waktu, mama yakin cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Bukankah dulu waktu kamu dan Kania dijodohkan kalian ga saling cinta? Tapi nyatanya cinta itu pun muncul di antara kalian." Mama Dava langsung menghentikan ucapannya. Jantungnya berdetak. Tak seharusnya is mengungkit masalah itu lagi.
"Itu Mama tau Dava dan Kania saling mencintai, lalu kenapa Mama batalin perjodohan kami? Dan sekarang Mama mau tunangin aku sama Ratu? Dava ga ngerti sama Mama! Cinta Dava ke Kania masih sangat besar, mana mungkin Dava bisa tunangan sama Ratu! Dava cinta sama Kania!." Dava tak sanggup lagi menahan emosinya. Matanya memerah.
Dava melanjutkan, "Mungkin benar kata Mama, lama-kelamaan Dava akan cinta sama Ratu. Kemudian, di saat cinta itu semakin membesar Dava takut Mama akan ngelakuin hal yang sama seperti yang Mama lakuin ke Dava dan Kania. Dava ga siap jika harus berpisah untuk yang kedua kalinya."
"Kamu ga usah khawatir. Mama ga akan pisahin kamu dan Ratu. Pokoknya Mama mau kamu dan Ratu tunangan!"
"Mama!" bentak Papa Dava.
"Pa! Ini semua mama lakukan untuk Dava." ucap Mama Dava lirih.
Dava berlari ke kamarnya, sedangkan orangtuanya mulai bersitegang. Papa Dava sudah tidak tahan lagi dengan sikap istrinya. Selama ini Papa Dava selalu terllihat santai dan tenang. Namun tidak dengan sore ini.
"Ma, sudah cukup! Mama jangan bikin Dava semakin terpuruk! Mama tidak lihat? Dava tersiksa dengan semua ini. Rasa cinta Dava ke Kania belum hilang, tapi Mama malah menyuruh dia membuka lembaran baru dengan wanita lain, coba Mama pikir!."
"Harus berapa kali Mama bilang kalo ini semua demi kebaikan Dava?!"
"Dan harus berapa kali juga Papa tanya kebaikan seperti apa? Mama ga pernah jelasin semuanya. Justru sikap Mama ini membuat kita seua bingung. Sekarang Mama ceritakan semuanya ke Papa! Papa mau dengar semuanya, Papa mau masalah ini selesai hari ini juga." ujar Papa Dava tegas.
******
To Be Continued . . .
Umi Yanti
21 September 2014
Read the rest ^,^
Kamis, 11 September 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VIII
Kania tampak tidak berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang diberikan oleh dosennya. Ia merasa ingin segera keluar dari kelas. Ketika dia memutar kepalanya ke luar melalui pintu kelas yang terbuka, ia melihat Dava sedang berjalan. Mata mereka bertemu. Dava berhenti dan memandang lekat wajah Kania dari luar sana. Dava akhirnya menunggu Kania di depan kelasnya.
1 jam berlalu, dosen pun keluar dari kelas Kania. Kania segera menghampiri Dava yang telah menunggunya sedari tadi. "Kita harus bicara." ucap Dava.
Keduanya pun berjalan menuju taman yang berada di dekat perpustakaan. Lalu duduk di bangku hijau yang ada di sana. Dava memetik setangkai mawar merah. Ia meletakkannya di atas telapak tangan Kania. Kania mengerutkan dahi.
"Lo tau, mawar ini cantik banget. Satu hal yang tidak kita sadari, ketika dipetik dari batangnya mawar ini kesakitan dan menganggap perbuatan kita kejam tapi mawar ini tetap terlihat cantik. Namun, lama-kelamaan mawar ini akan layu dan mati."
Kania menatap Dava sambil memegang mawar digenggamannya.
Dava melanjutkan, "Gue berharap lo ga kaya mawar ini. Meskipun lo bakalan dipisahkan dari gue, lo harus tetap jalani hidup lo dengan senyum dan semangat. Gue ga mau lo cuma bertahan sebentar terus layu kaya mawar ini, gue harap lo akan terus bertahan selamanya. Akan tetap secantik mawar ini sebelum ia dipetik."
"Oke, gue akan bertahan. terus lo gimana?" tanya Kania sedih.
"Gue juga akan bertahan. Karna gue akan selalu jagain lo. Gue akan selalu ada buat lo."
"Mana mungkin!"
"Gue akan berusaha. Gue janji. Jujur, gue sayang banget sama lo, Kania."
"Kita lihat aja nanti, gue pegang janji lo, Dava." Kania pun meninggalkan Dava.
Cuaca sedang bersahabat. Ia seakan mengerti dengan perasaan Kania. Saat ini jam telah menunjukkan pukul 3 sore. Kania menikmati hembusan angin yang menerbangkan rambutnya. Ia berdiri di balkon kamarnya. Balkon yang tepat menghadap ke arah rumah Dava, lebih tepatnya kamar Dava. Ia memandang lurus dan tidak terlihat siapapun di jung sana.
Mama Kania telah menceritakan hasil dari pertemuannya dengan Mama Dava. Sama halnya dengan sang Mama, Kania juga tak mengerti dengan tingkah Mama Dava. Setelah merasa puas melepaskan penat di balkon itu, tiba-tiba pintu kamar Dava terbuka. Keluarlah sosok pria beralis tebal yang sekarang sedang berdiri di balkon kamar yang berseberangan dengan Kania. Mereka memandang satu sama lain.
******
"Eh, alis tebal! Anterin gue ke rumah temen gue dong." pinta Kania saat melihat Dava yang melintas di depan rumahnya.
"Maaf banget Kania. Gue ga bisa. Bentar lagi gue dan orangtua gue mau makan siang sama Ratu dan Papanya." ungkap Dava.
Kania tampak sedikit kecewa. "Hem, ya udah gapapa. Gue bisa sendiri kok. Oh ya, have fun ya!"
Tidak terasa satu bulan telah berlalu sejak perjodohan Dava dan Kania dibatalkan. Saat ini Dava sedang dekat dengan Ratu. Dava dan Kania pun masih berhubungan baik. Bahkan sesuai dengan ucapannya, Mama Dava tidak pernah berusaha untuk menjauhkan Kania dan Dava. Mama Dava tetap menyayangi dan menganggap Kania sebagai anaknya sendiri. Dan satu hal yang tak kalah penting, baik Dava maupun Kania masih saling menyayangi. Perasaan mereka tak berkurang sedikit pun, malah semakin kuat.
"Ma..." kata Papa Dava pada istrinya.
"Iya, Pa. Kenapa?" balas Mama Dava sambil mengoleskan make up-nya.
"Sebenernya Papa masih belum yakin dengan alasan Mama batalin perjodohan Dava dan Kania."
"Mama kan sudah jelasin ke Papa. Ini untuk kebaikan Dava dan Kania."
"Tapi, Ma, kita kan belum membuktikan semuanya." ucap Papa Dava penuh kesabaran.
"Sudahlah, Pa. Kita ga usah membahas ini lagi. Papa liat sendiri kan, semuanya berjalan dengan lancar. Dava dan Kania baik-baik saja kok."
"Ma, kita ga pernah tahu isi hati orang lain. Bisa saja apa yang terlihat di luar berbeda dengan yang di dalam."
"Ayo Pa kita pergi. Kasian Ratu dan Papanya pasti sudah nungguin kita." ajak Mama Dava tak memperdulikan perkataan suaminya.
Di sebuah meja makan bundar yang dibalut taplak meja berwarna putih-ungu itu duduklah Dava, Ratu dan orangtua mereka. Makanan dan minuman telah dipesan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang. Keakraban jelas terlihat di antara orangtua Dava dan Papa Ratu. Namun, Dava dan Ratu masih kaku seperti saat awal mereka bertemu. Ratu selalu mengajak Dava mengobrol dan Dava selalu menjawabnya singkat.
"Halo, Ly gue ke rumah lo ya." ucap Kania di telepon.
"Oke, kebetulan gue lagi sendirian. Asyik deh ada yang temenin gue." seru Lily.
"Kalo gitu gue sekarang jalan ya. Jangan lupa siapin cemilan!"
"Iya, iya. Ntar gue beli yang banyak hahaha"
"Hahaha Gitu dong! Ya udah, gue berangkat, bye."
"Sip, bye." telepon pun ditutup.
Kania mengambil kunci mobil yang berada di atas meja kecil di ruang tivi. Tak lama kemudian mobil berwarna biru muda itu pun meluncur mulus di jalanan sepi itu. Kania menghidupkan radio dan kebetulan sekali sebuah lagu yang mengingatkan kenangannya bersama Dava sedang mengalun.
It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall
I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in love
Somewhere I'd never thought I'd be
Lagu slow yang dinyanyikan oleh Craig David itu berhasil membuat ia merindukan sosok pria yang sudah lebih dari 5 tahun selalu bersamanya itu. Entah apa yang ia rasakan kini, sejak hari itu memang semuanya tidak berubah. Namun, Kania merasa ada yang kurang, bukan, aneh tepatnya.
Kania telah tiba di rumah Lily. Ia memarkirkan mobil mungilnya di halaman rumah itu. Kania langsung disambut oleh pelukan hangat Lily yang telah menantinya.
"Kaniaaa, Gue seneng banget lo ke sini! Jarang-jarang kan lo main ke sini!" teriak Lily ketika mereka baru saja duduk di kursi santai pinggir kolam yang berada di halaman belakang rumah Lily.
"Berarti lo beruntung dong Ly!" canda Kania.
"Dasar! Eh, by the way lo mau cerita apa? Gue udah penasaran!"
"Ha? Apaan sih? Baru juga duduk, lo udah nanya gue mau cerita apa."
"Ah, gue tau kali. Lo ke sini pasti mau cerita dan itu pasti tentang Dava!" tebak Lily.
Kania hanya tersenyum kecil. Pikirannya menerawang. Sebetulnya, ia sudah tidak sabar lagi hendak mencurahkan perasaannya. Namun, Kania berusaha untuk mengontrol perasaannya. Ia ingin meluapkan apa yang ia rasakan dengan tenang.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
11 September 2014
Read the rest ^,^
Minggu, 07 September 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VII
"Sayang, ayo kita pergi" ucap seorang wanita sambil membawa beberapa koper besar.
Bocah berusia 4 tahun yang belum mengerti apa-apa itu menuruti sang Mama. Mereka menaiki taksi dan berlalu meninggalkan rumah mewah itu. Di dalam mobil, bocah kecil itu terlelap. Sang Mama mengelus rambut anaknya. Tetes demi tetes air mata berjatuhan dari mata sembab wanita itu.
"Dava, kita akan memulai kehidupan yang baru." wanita itu mengecup pelan puncak kepala anaknya.
Dava dan Kania telah tiba di depan rumah Kania. Dua sejoli itu memasuki rumah Kania. Pintu tak terkunci namun tak ada orang di sana. Kania melangkah menuju kamar Mamanya dan diikuti oleh Dava.
"Mama?" ucap Kania kaget melihat sang Mama terkulai lemah di atas tempat tidur.
"Kania..."
"Mama kenapa?"
"Tenang, Mama cuma kelelahan kok. Tadi Mama Dava sudah bantuin Mama." ujar Mama Kania sambil melirik Dava.
"Syukur kalo Tante baik-baik aja. Mama di mana, Tante?" sambung Dava.
"Udah pulang. Coba deh kamu cek, kasian Mama kamu sendirian di rumah."
"Baiklah, kalo gitu Dava pamit ya, Tante." Dava pun mencium tangan Mama Kania.
"Kania antar Dava ke depan ya, Ma."
"Iya, Sayang."
Setelah menutup pintu kamar, Kania merangkul tangan Dava. Berjalan beriringan menuju pintu depan. Mereka saling melamparkan senyum. Sesampainya di ambang pintu, dengan manja Kania menyenderkan kepalanya di pundak Dava seolah-olah tak ingin membiarkan Dava pulang.
Dava membelai kepala Kania. "Gue harus pulang."
Kania menghela napas. "Ya udah, makasih ya buat hari ini. Gue ga nyangka kita bisa kaya gini."
"Sama-sama. Gue juga seneng banget hari ini."
Dava bingung melihat rumahnya tampak sepi. Tidak biasanya sang Mama sudah tidur, pikirnya. Saat hendak menaiki tangga, tiba-tiba pintu kamar Mama terbuka. Mama Dava keluar dari kamar dengan tampang kusut seperti sedang memikirkan hal yang berat.
"Dava.." panggil Mamanya pelan.
"Ada apa, Ma?"
"Mama mau bicara."
Mereka duduk di sofa depan tivi. Mama Dava memperhatikan wajah anaknya. Ia melihat Dava terlihat bahagia. Mengetahui hal itu, Mama Dava menjadi tidak tega untuk mengatakan apa yang hendak ia sampaikan. Ia pun mengurungkan niatnya.
"Kamu kelihatan senang. Kamu dan Kania kemana aja tadi?" tanya Mama Dava dengan senyum halus.
"Kami cuma ke toko hewan terus makan malam, hehe"
"Mama bahagia kalo kamu bahagia." Mama Dava pun memeluk hangat anaknya itu.
******
Hari ini terlihat berbeda dengan hari-hari biasanya. Tanpa disuruh Dava dan Kania pergi ke kampus bersama-sama. Mama Kania senang melihat perubahan kecil mereka. Namun, lain halnya dengan Mama Dava. Ia juga terlihat bahagia, tetapi wajahnya juga terlihat tidak tenang.
Mama Kania sedang menikmati harinya di rumah. Ia terlihat bahagia. Ia memasak makanan kesukaan sang putri. Usai memasak dan menyiram tanaman ia pergi ke rumah Dava. Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00. Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara Dava.
"Ma, Dava pulang."
"Sini, sayang." ucap Mama Dava dari dalam rumah.
Dava dan Mamanya sama-sama terkejut. Dava membawa Kania bersamanya dan ternyata Mama Kania juga sedang ada di rumah Dava. 'Kebetulan sekali' ucap Dava di dalam hati.
Dava dan Kania duduk berdampingan di sofa yang menghadap Mama mereka. Dava memunculkan mimik seriusnya. Dava menggenggam tangan Kania di hadapan orangtuanya. Mama Kania tersenyum.
"Tante, Mama, Dava dan Kania sudah mengambil keputusan. Kami mau melanjutkan perjodohan ini." ujar Dava sontak membuat mereka terkejut begitu pun Kania.
Kania meoleh pada Dava karena tak menyangka Dava akan mengatakan hal itu secepat ini. Mata Dava masih menatap Mamanya dan Mama Kania.
"Sa..."
"Ga bisa!" Mama Dava memotong ucapan Mama Kania.
"Mbak?"
"Perjodohan ini ga bisa dilanjutin. Perjodohan ini batal!" ucap Mama Dava dengan berat.
Tenggorokan Dava tercekat. Ia merasa kesulitan menelan ludahnya. Ia tak mengerti dengan sikap Mamanya. Bukankah semalam Mamanya berkata bahwa ia bahagia jika Dava bahagia? Dan inilah kebahagian bagi Dava. Ia menatap tajam Mamanya.Dava menoleh pada Kania. Terlihat butiran air mata sudah mengendap di pelupuk matanya.
"Kenapa Mama batalin perjodohan ini?!" sergah Dava pada Mamanya.
"Sayang, perjodohan ini harus dibatalkan."
"Mbak, bukankah kita sudah setuju untuk menjodohkan Dava dan Kania?" tanya Mama Kania yang terlihat mulai kesal.
Kania melepaskan genggaman Dava. Ia berlari yang kemudian dikejar oleh Mamanya. Dava hendak menyusul Kania, namun Mamanya menghalangi.
"Dava! Tetaplah di sini!"
"Ma? Mama kenapa? Ada apa sih?"
"Maafin Mama."
"Ma, tolong kasih tau Dava kenapa Mama batalin perjodohan ini?" pinta Dava lemah.
"Mama ga bisa kasih tau, Sayang."
"Ma, Dava mohon jelasin ke Dava..."
"Mama bilang perjodohan ini batal, artinya perjodohan ini batal! Tapi, meskipun perjodohan ini batal Mama ga melarang kamu untuk dekat sama Kania."
Mama Dava meninggalkan Dava yang masih tidak mengerti atas tingkah Mamanya. Dengan kesal Dava menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya. 'Mama kenapa sih?' batinnya heran.
Di dalam rumah bernuansa putih itu tampak seorang gadis menangis dalam pelukan hangat sang Mama.
"Ma, kenapa Tante batalin perjodohan ini? Apa Kania ada salah ya sama Tante?"
"Mama ga tau sayang, Mama ga tau."
"Ma, Kania sayang sama Dava. Sayang banget."
Mama Kania membelai rambut putri kesayangannya itu. "Nanti Mama bakal bicara sama orangtua Dava. Kamu yang sabar ya. Mama yakin semuanya akan baik-baik saja."
Paginya setelah Dava dan Kania pergi ke kampus, Mama Kania menemui Mama Dava.
"Mbak, kenapa Mbak batalin perjodohan ini? Coba jelasin, Mbak." Mama Kania memulai.
"Maaf, saya ga bisa jelasin apa-apa. Saya juga ga akan berusaha memisahkan Dava dan Kania. Saya ga akan melarang mereka untuk dekat. Saya hanya membatalkan perjodohan ini. Cuma itu."
"Saya benar-benar ga mengerti maksud Mbak."
"Kita lupain perjodohan ini. Anggap saja ini ga pernah terjadi."
"Mana bisa kita lupain ini begitu saja, Mbak! Mbak ga liat? Anak-anak kita sudah mulai dekat. Bahkan mereka sudah memutuskan untuk melanjutkan perjodohan ini, itu artinya mereka sudah mulai saling sayang." balas Mama Kania geram.
"Perjodohan ini batal." Mama Dava bersikeras.
"Apa saya ngelakuin kesalahan, Mbak? Atau Kania sudah bikin Mbak marah?"
"Ga ada yang salah. Kamu, Kania, Dava. Kalian tidak salah. Salahnya adalah kita pernah merencanakan perjodohan ini."
"Saya bingung, Mbak. Ayo Mbak, tolong ceritakan semuanya. Kita cari jalan keluar yang terbaik."
"Inilah jalan keluar yang terbaik untuk kita semua!"
To Be Continued . . .
Umi Yanti
7 September 2014
Read the rest ^,^
Sabtu, 06 September 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VI
Selang beberapa saat Kania tersadar bahwa saat ini mereka sedang melalui jalan yang bukan mengarah ke rumahnya. Kania berhenti menangis. Ia menghapus air matanya. Melepas pelukannya.
"Dava, kita mau ke mana? Ini kan bukan jalan ke rumah."
Tapi Dava ak membalas ucapan Kania.
Matahari sudah tidak terlalu terik lagi. Angin mulai membelai sisa rambut Kania yang tidak masuk ke dalam helm. Kania hanya menatap jalanan di sekitarnya. Ia mulai menyadari sesuatu.
"Nah, ayo turun." ucap Dava kemudian.
"Ngapain lu ngajak gue ke sini? Gue mau pulang!"
"Sini." ajak Dava sambil menarik pergelangan tangan Kania.
Saat ini mereka sudah berada di bibir pantai. Keduanya berdiri menghadap ombak pantai yang sedang menari-nari. Kania menghela napas panjang. Mencoba menikmati suasana pantai yang indah ini. Menghirup udara segar. Lalu Dava memegang kedua pundak Kania sehingga posisi mereka berhadapan. Dava menurunkan tangannya secara perlahan sambil menelusuri tangan Kania. Kemudian berhenti tapat di telapak tangan Kania dan menggenggamnya erat.
"Gue bodoh." ucap Dava sambil menunduk.
Kania hanya mengernyitkan dahinya.
"Gue keterlaluan sudah membuat seseorang nangis gara-gara gue. Dan parahnya ternyata gue baru sadar kalo gue sayang sama dia. Dia yang selalu ada di samping gue. Dia yang tidak sempurna tapi mampu membuat hidup gue terasa sempurna." lanjut Dava masih menunduk.
"Maksudnya Ratu?" tanya Kania menahan rasa sakit di dadanya yang tiba-tiba muncul.
"Bahkan orang itu ga sadar kalo dia yang gue maksud. Dia itu adalah lo, Kania. Tetangga gue, teman gue sejak kecil. Lo." ujar Dava sambil mendongakkan kepalanya.
Kania terkejut. Mata mereka beradu. Mata Kania berubah sendu. Kania melepaskan genggaman Dava.
"Gue terlambat ya?" tanya Dava.
"Ga pernah ada kata terlambat jika itu menyangkut masalah hati. Gue juga baru sadar kalo lo lebih dari sekedar si alis tebal yang nyebelin." senyum Kania mengembang.
Dava menarik badan Kania ke dalam pelukannya. Dava membelai lembut rambut Kania, mengusap punggungnya, dan mencium keningnya. Kania tertawa bahagia. Dava menyapu air mata Kania. Kania pun mengelus pipi kiri Dava. Mereka tertawa.
Matahari hampir tenggelam. Saat hendak meninggalkan pantai tiba-tiba Kania bertanya,
"Kenapa lo bawa gue ke pantai ini?"
"Karna pantai ini pernah dan akan menjadi tempat kenangan kita."
"Pernah? Akan?" tanya Kania tak mengerti.
"Dulu orangtua kita menjodohkan kita di sini. Dan tadi gue berpikir akan ungkapin perasaan gue ke lo di sini karna gue tau lo pasti akan nerima gue. Dan sekarang terbukti." ucap Dava percaya diri.
"Ah, gila! Pe-de banget lo! Siapa yang terima lo?" ledek Kania.
"Loh? Gue kira tadi itu lo nerima gue." Dava melangkah cepat menginggalkan Kania.
Kania mengejar Dava sambil tertawa akibat tingkah Dava yang menurutnya seperti anak kecil. Kania memeluk Dava dari belakang.
"Kok ngambek sih? Gue cuma bercanda kok." Kania mencium punggung Dava.
Dava membalikkan badannya. "Dasar Kania yang gemesin!"
Dava mencubit pelan hidung mancung Kania. Lalu Ia mencium pipi kanan Kania. Kania hanya tersipu malu sambil menatap dalam kedua mata Dava.
******
Malamnya Dava pamit kepada Mamanya untuk mengajak Kania jalan-jalan. Saat ini Papa Dava sedang keluar kota. Bisnis yang ia lakukan mengharuskannya meninggalkan keluarganya hingga 2 minggu ke depan.
"Sayang, pulangnya jangan terlalu malam ya. Jagain Kania." Pesan Mama Dava.
Dava menjemput Kania. Ternyata Mama Kania belum pulang ke rumah karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dava mengajak Kania ke toko hewan yang berada di dekat taman kota. Ketika memasuki toko itu Kania terlihat takjub. Ada banyak jenis kucing, kelinci, dan anjing di sana. Saat ini toko sedang sepi dan biasanya akan ramai pada pagi dan siang hari. Pemilik toko itu pun terlihat ramah.
Kania berjalan perlahan sambil memperhatikan hewan-hewan yang ada di dalam kandang itu. Lalu ia berhenti tepat di depan salah satu kandang kucing. Ia membungkukkan badannya untuk melihat kucing itu.
"Kucing itu namanya Russian Blue." ucap Dava dari belakang.
Kania menoleh pada Dava dan kembali memperhatikan kucing bermata hijau itu. Dava ikut membungkukkan badannya.
"Russian blue ini terkenal cerdas, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan tenang. Dia juga cenderung pemalu terhadap orang asing. Tapi kucing ini sangat setia pada tuannya. Oleh karena itu, menurut gue Russian blue cocok banget dijadikan peliharaan." terang Dava.
"Waah, ternyata lo tau banyak ya tentang kucing ini." puji Kania.
"Hehe, ga juga sih. Eh, lo mau kucing ini?"
"Mau sih, tapi Mama kan alergi sama kucing. Lagian gue juga kayanya ga bisa ngerawat nih kucing, takutnya nanti ga keurus."
Mereka pun melanjutkan untuk melihat hewan-hewan yang lain. Setelah puas melihat-lihat mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran bintang lima. Jam tangan Dava telah menunjukkan pukul 9 malam.
"Udah jam 9 nih. Kita pulang yuk." ajak Dava.
"Oke. Bentar, gue abisin dulu minumannya."
Dava pun memanggil waitress lalu membayar bill. Kania menggandeng tangan Dava lalu berjalan keluar.
Mama Kania telah tiba di rumah. Ia terlihat kelelahan. Ia duduk di atas sofa lalu meletakkan tasnya di atas meja. Mama Dava melihat mobil telah terparkir di halaman rumah Kania. 'Mama Kania sudah pulang' batinnya. Lalu Ia berjalan keluar rumah hendak menemui Mama Kania.
Sesampainya di rumah Kania, Mama Dava langsung mengetuk pintu.
"Mbak. Mbak." panggil Mama Dava.
Namun tidak ada jawaban. Mama Dava mulai khawatir. Mengapa tak ada jawaban? Tak mungkin Mama Kania sudah tidur, lampu ruang tamu saja masih terlihat menyala. Mama Dava memegang gagang pintu ternyata tidak terkunci.
"Ya ampun, Mbak!" jerit Mama Dava melihat keadaan Mama Kania.
Ia segera merangkul dan membopong badan Mama Kania ke kamar. Wajah Mama Kania terlihat pucat sekali. Mama Kania pun ditidurkan di atas kasurnya. Mama Dava pergi ke dapur. Mama Dava kembali ke kamar itu sambil membawa secangkir teh hangat dan meminumkannya pada Mama Kania.
Lambat laun kondisi Mama Kania mulai membaik. Wajahnya tak sepucat beberapa menit yang lalu. Keduanya tersenyum.
"Mbak, kok bisa sih seperti ini?" Mama Dava terlihat khawatir.
"Sepertinya saya kelelahan. Maaf ya sudah bikin repot."
"Ah, gapapa kok."
Saat sedang melemparkan pandangan ke sekeliling kamar Mama Kania, ia menemukan foto keluarga Kania yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur Mama Kania. Ia kemudian mengangkatnya untuk melihat lebih jelas. Di foto itu ada Kania, Mamanya, dan Papanya. Saat memperhatikan wajah Papa Kania, Mama Dava nampak terkejut. Tiba-tiba air mata Mama Dava menetes. Lalu ia pergi dari kamar itu tanpa pamit.
"Mbak? Kenapa?" teriak Mama Kania melihat kepergian sahabatnya itu.
Mama Dava tak menghiraukan panggilan Mama Kania. Ia berlari dan kembali ke rumahnya. Kemudian masuk ke dalam kamarnya. Tangisnya pun semakin jadi. Bahkan ia merasa tak kuat lagi untuk melangkah sehingga ia terduduk di balik pintu kamarnya. Ia menyenderkan tubuhnya di pintu itu.
"Mas Surya..." ucap wanita paruh baya itu sambil terisak.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
6 September 2014
Read the rest ^,^
Jumat, 05 September 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : V
Pria berusia 20 tahun itu mengingat kejadian 2 bulan yang lalu. Hari di mana orangtuanya memutuskan untuk menjodohkan dirinya dengan Kania, tetangga sekaligus teman kecilnya. Di foto yang sedang ia pegang sekarang terlihat jelas keceriaan di wajah Kania. Dava pun mengelus lembut foto itu.
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Mata Dava sudah memerah. Tugas kuliah yang ia kerjakan sedari tadi telah selesai. Dava merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia menarik selimut dan langsung memejamkan matanya.
******
Matahari belum menampakkan sinarnya. Namun Dava sudah terbangun dari tidurnya. Ia keluar dari kamarnya dan segera menuju ruang tivi.
"Pagi Pa, Ma." sapa Dava pada kedua orangtuanya yang sedang asyik menonton berita pagi.
"Pagi, sayang." ucap Mama lembut.
"Dava, hari ini kamu ke kampusnya bareng Kania ya. Mama Kania sedang ada pekerjaan, jadi ga bisa mengantar Kania." ujar Papa Dava.
"Oh, oke deh. Nanti Dava bakalan jemput Kania."
Lalu Dava pun mengambil beberapa potong roti yang ada di atas meja. Setelah makan, ia pun kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke kampus.
Dava mengeluarkan motornya dari garasi lalu tak lupa ia menjemput Kania. Dava mengetuk rumah Kania.
"Kania." panggil Dava.
"Iya." terdengar suara dari dalam rumah.
Pintu pun terbuka dan munculah Kania yang sudah berpakaian rapih lengkap dengan tas ransel dan sepatu kets biru.
"Kan, mama lu udah pergi ya?"
"Iya. Jam setengah 7 tadi udah berangkat." sahut Kania sambil mengunci pintu rumahnya.
Beberapa saat kemudian Kania dan Dava sudah berada di atas motor. Keduanya pun memakai helm dan segera meluncur meninggalkan rumah Kania. Di perjalanan, Kania ragu untuk memegang pinggang Dava. Kania hanya memegang jaket yang Dava kenakan.
"Udah deh, jangan kaya gitu pegangannya. Bener-bener dong. Gapapa, pegang aja pinggang gue daripada entar lo jatuh." kata Dava membuyarkan keraguan Kania.
Kania pun memegang pinggang Dava. Tiba-tiba tangan kiri Dava menarik tangan kanan Dava agar Kania memegang lebih erat pinggang Dava, tidak, tepatnya memeluk pinggang Dava. Jantung Kania berdetak tak beraturan. Ia merasa gugup dan kikuk. Matanya memandang punggung Dava.
20 menit berlalu. Akhirnya mereka tiba di kampus. Dava memarkirkan motornya. Dava dan Kania melangkah bersama menuju fakultas mereka.
"Makasih ya Dava." ucap Kania.
"Ya, sama-sama." balas Dava sambil menoleh ke wajah Kania.
Mereka pun berpisah dan menuju kelas masing-masing. Ketika sampai di depan kelas Kania masih terlihat linglung. Ia merasa aneh. 'Gue kenapa sih?' batin Kania pada dirinya sendiri. Suasana kelas Kania tampak ramai. Kania segera duduk di kursi yang kosong. Tak lama kemudian dosen pun memasuki kelas dan kuliah pun langsung dimulai.
Kania melihat jam tangannya. Pukul 10:15 menit. Setelah dosen keluar, teman Kania yang bernama Lily menghampiri Kania.
"Hei! Gue perhatiin dari masuk kelas sampe sekarang kok lo diem aja?" tanya gadis manis berkulit coklat itu.
"Apaan? Perasaan gue biasa aja kok."
"Alah. Ga usah bohong deh. Gue udah kenal lo dari SMA, gue tau pasti ada apa-apa nih!"
"Gimana ya, Ly? Gue juga ga ngerti..."
"Maksud lo?"
Kania pun menceritakan apa yang ia rasakan kini. Lily mendengarkan curhatan Kania dengan seksama. Ia selalu berdehem dan beroh ria sambil diselingi anggukan pelan.
"Menurut gue, lo mulai ada rasa deh sama dia." ucap Lily diakhir cerita Kania.
"Ya ampun! Mana mungkin! Lo ada-ada aja deh." Kania tak mempercayai ucapan Lily.
"Eh, lo kan udah kenal dia sejak kalian masih ingusan, mana mungkin ga ada rasa. Asal lo tau ya, cewek dan cowok itu ga bisa temenan. Sekalinya mereka temenan, bakal muncul rasa sayang atau lebih tepatnya mungkin cinta. Baik itu dirasain oleh si cewek atau si cowok bahkan keduanya." jelas Lily panjang lebar.
Kania hanya terdiam mendengar pendapat temannya itu.
"Kania! Kok lo malah diem? Jangan-jangan..." Lily pun mencolek pipi Kania.
"Idih! Apaan sih? Tau ah! Yuk kita ke kantin, gue udah laper nih. Tadi pagi ga sempat sarapan." ajak Kania lalu menggandeng tangan Lily.
Sesampainya di kantin Kania dan Lily segera memesan makanan dan minuman. Dengan lahap Kania memakan apa yang ia pesan. Usai makan Kania mengeluarkan sebungkus kecil kacang mede favoritnya dari dalam tas. Ia kemudian memakan kacang itu sebagai pencuci mulut.
Beberapa waktu kemudian Kania dan Lily kembali ke kelas. Mata kuliah kedua dilalui Kania dengan lancar. Lalu ia mencari Dava untuk pulang bersama sesuai janji Dava tadi pagi. Setelah beberapa kali keluar masuk kelas namun tak berhasil mencari orang yang ia cari, Kania pun memutuskan untuk bertanya pada teman-teman Dava yang sedang asyik mengobrol di dekat tangga.
"Permisi, kak. Mau nanya nih. Liat Dava ga?" tanya kania dengan sopan.
"Oh, dia ada di dekat loker tuh." jawab seorang cowok bertubuh tegap itu sambil menunjuk arah loker.
"Makasih, kak" Kania pun berpamitan.
Dengan jengkel Kania berjalan menuju loker. 'Dasar alis tebel! Gue udah capek-capek nyariin dia, eh dianya ga ada di kelas. Ga taunya di loker!' omel Kania dalam hati. Langkah Kania terhenti ketika ia melihat 2 sosok yang sedang berbicara dengan raut wajah serius dan tampak keduanya sedang bergenggaman tangan. Kania langsung membalikkan badannya dan melangkah cepat meninggalkan 2 orang itu.
"Kania!" teriak Dava lalu melepaskan tangan wanita itu.
"Tunggu." kata wanita itu.
"Maafin gue, Nabila. Gue ga ada rasa sama lo. Maaf."
Dava meninggalkan wanita yang diketahui bernama Nabila itu. Ia mengejar Kania. Entah apa yang Dava rasakan, ia hanya tak ingin Kania salah paham dengan apa yang ia lihat barusan. Dengan sigap Dava meraih tangan Kania dan membawanya ke parkiran motor.
"Lepasin gue! Gue mau pulang sendiri" Kania mencoba memberontak.
"Diem! Lu harus pulang sama gue!" Dava meninggikan suaranya.
"Tapi gue ga mau!"
"Gue ga peduli. Lu tanggung jawab gue."
Dava memasangkan helm di kepala Kania. Kania tak melihat wajah Dava. Ia terlihat menahan tangis.
"Entah apa yang lo rasain sekarang, gue ga mau tau. Yang penting sekarang lo harus pulang sama gue. Nanti gue jelasin."
Dava menyalakan motornya. Dava yang sudah duduk di atas motor menunggu Kania untuk ikut naik. Kania pun duduk di belakang Dava. Mereka tak bersuara. Tak lama kemudian tangis Kania pun pecah. Butiran hangat jatuh dari kedua mata indah Kania. Ia menangis di atas punggung Dava. Air mata Kania mulai membasahi jaket coklat Dava sambil memeluk erat Dava.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
5 September 2014
Read the rest ^,^
Rabu, 20 Agustus 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : IV
Dengan rasa tidak enak akhirnya Mama Dava bertanya. Ternyata alasan mengapa tidak ada foto sang Papa di ruang tamu adalah karena Mama Kania tidak ingin orang-orang yang datang ke rumahnya menanyakan tentang Papa Kania. Ia tidak ingin tiba-tiba kembali merasa sedih jika teringat suaminya itu. Seperti luka lama yang telah kering lalu terbuka lagi hanya karena rasa penasaran mereka terhadap kematian suaminya. Suasana berubah sunyi. Mama Dava mencoba menghibur sahabatnya itu.
Dari luar terdengar suara klakson mobil di depan rumah Dava. Dengan cepat Mama Dava keluar dan diikuti oleh Mama Kania. Sosok gadis yang mengenakan baju pink polos dan rok bunga-bunga turun dari mobilnya. Dengan penuh harapan Ratu mendekati Mama Dava yang sekarang sedang berdiri di dekat pagar rumah Kania.
"Selamat siang, Tante." sapa Ratu.
"Siang. Kamu cari Dava?" tanya Mama Dava.
"Iya, Tan. Mau ngajak Dava jalan-jalan. Davanya ada?"
"Sayang sekali. Dava dari tadi pagi udah pergi sama Kania."
"Kania?"
"Kania itu sahabat Dava dari kecil. Ini Mamanya Kania."
"Oh, siang, Tante. Saya Ratu." Ratu memperkenalkan diri.
"Mamanya Kania." ucap Mama Kania ramah.
Setelah itu Ratu pamit pulang. Di dalam mobilnya merasa khawatir. Dia takut jika Dava memiliki hubungan khusus dengan Kania. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. 'Tenang Ratu. Mereka cuma sahabat. Ga lebih.' gumam Ratu. Namun tetap saja pikiran aneh muncul di otaknya.
Ratu berhenti di sebuah restoran cepat saji. Ia mengantri sebentar di kasir, memilih makanannya dan duduk di meja nomor 10. Saat hendak mencuci tangan di wastafel, matanya tertuju pada 2 orang yang sedang bercanda di meja yang terletak tidak jauh dari mejanya tadi.
"Dava!" seru Ratu ketika tiba di meja nomor 15.
"Ratu?"
"Aku tadi ke rumah kamu, tapi kata Tante kamu pergi. Padahal aku mau ngajak kamu jalan-jalan, seperti kemarin." ujar ratu sambil melirik Kania.
"Oh iya, kenalin ini Kania. Kania ini Ratu, anaknya temen Papa." Dava mengalihkan perhatian.
"Kania."
"Ratu."
"Kami duluan ya. Takut kesorean. Kasian Kania udah capek. Sampai jumpa"
Kania dan Dava keluar dari restoran. Ratu hanya terdiam di dalamnya. Kania menoleh ke arah ratu yang sedang memperhatikan mereka. Kania pun tersenyum begitupun dengan Ratu. Kania merasa ada yang tidak beres. Dava memberikan helm kepada Kania. Di tengah perjalanan Kania mendekatkan kepalanya dengan telinga Dava yang tertutup helm.
"Eh, alis tebal. Ratu itu siapa sih? Kok dia ramah sama lu, tapi lu-nya malah kaya dingin gitu sama dia? Jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa? Dia itu cuma anaknya temen Papa. Aku aja baru kenal sama dia 2 bulan yang lalu." potong Dava.
"Oh..."
"Kenapa? Lu cemburu ya? Hahaha" terka Dava.
"Idih! Apaan sih lu? Enak aja!" jerit Kania.
"Kita ke taman dulu ya." ajak Dava.
"Loh? Bukannya lu tadi bilang mau langsung pulang?"
"Kan tadi ada Ratu, makanya gue langsung ajak lu pulang. Males banget deh kalo ada dia. Mau kan?"
"Ayo!" Kania meng-iya-kan.
Di taman Dava dan Kania melihat ada seorang penjual layangan. Dava membeli sebuah layangan besar berwarna hitam putih seperti papan catur. Lalu mereka menerbangkan layangan itu. Kania dan Dava tertawa lepas.
"Hebat juga si alis tebal. Gue kira lu ga bisa main layangan." ejek Kania.
"Dasar! Ujung-ujungnya ngatain." sahut Dava sambil mencolek pipi kiri Kania.
"Ih tangan lu! Ntar pipi gue kotor!"
Tahu Kania akan segera marah dan memukul dirinya, Dava segera memberikan layangan itu kepada seorang anak kecil dan berlari menghindari amukan Kania. Kania mengejar Dava sambil mengeluarkan sumpah serapahnya. Dava berlari dan menjulurkan lidahnya pada Kania yang tertinggal jauh di belakangnya.
Karena kelelahan berlari, Dava pun berhenti. kania menyusul dan Dava menerima pukulan pelan Kania di bahunya. Tiba-tiba kaki kanan Kania tersandung batu kecil.
"Aduh!" rintih Kania.
"Kenapa? Kaki lu terkilir?"
"Kayanya. Sakit, Dav."
"Lu sih, ngapain jalan-jalan pake wedges." omel Dava.
Dava memegang tangan Kania dan menggiringnya duduk di pinggir danau. Dengan panik Dava melepaskan sepatu Kania lalu mengurut kakinya.
"Gimana?"
"Udah mendingan. Makasih ya."
"Lu seneng banget sih bikin gue khawatir." ceplos Dava.
"Ha? Lu khawatir sama gue?"
"Yaa, maksud gue kalo ada apa-apa sama lu, Mama lu pasti sedih dan Mama gue bakalan marahin gue. Makanya gue khawatir."
"Oooh"
Dava berdiri. Ia memberi tangannya yang langsung disambut Kania. Mereka berjalan dengan pelan. Dava merangkul Kania untuk membantunya berjalan.
******
Pukul 5 sore di rumah Kania...
"Kania?" seru Mama Kania kaget melihat kondisi anaknya itu.
Kania hanya tersenyum kecil.
"Sayang, kamu kenapa?"
"Maaf, Tante. Kaki kanan kania terkilir waktu kami main di taman tadi." sesal Dava.
"Ya ampun. Kok bisa sih? Ya udah ayo masuk."
"Dava pamit pulang, Tante. Sekali lagi maafin Dava."
"Iya, ga papa, Dava. Ayo Kania." ucap Mama Kania.
Di rumah Dava...
"Dava." panggil Papa Dava.
"Ada apa, Pa?"
"Dari mana aja kamu? Kok baru pulang? Tadi Papa ketemu Ratu, katanya dia mau ngajak kamu jalan-jalan. Dia bilang kalian udah janjian, tapi kamu ga ada di rumah. Kenapa Ratu ditinggalin, kan kasian dia, Dava."
"Pa, tadi dava pergi bareng Kania. Kok Papa ngomong gitu sih? Bukannya Papa dan Mama jodohin Dava sama Kania? Tapi kenapa Papa malah deketin Dava sama Ratu?" tanya Dava bingung.
"Bukan gitu. Papa ga enak sama Papanya Ratu. Bentar dulu. Jangan-jangan kamu sama Kania..."
"Ga kok, Pa!" potong Dava.
"Udah ngaku aja. Papa dan Mama setuju kok. Ternyata rencana Papa, Mama, dan Mamanya Kania berhasil!"
"Udah ah, Dava mau ke kamar." Dava berlari kecil ke kamarnya.
Dava duduk di tempat tidurnya. Kemudian teringat pada kata-kata Papanya barusan. Ia tersenyum. Apakah mungkin Dava mulai suka pada Kania? Kalau iya, bagaimana dengan Kania? Apakah dia juga merasakan hal yang sama terhadap Dava? Jantung Dava mulai berdegup kencang. Ia merasa aneh.
Dava berdiri, lalu duduk kembali. Dia bingung harus melakukan apa. Dia belum mengetahui secara pasti tentang perasaannya pada Kania. Apakah ini cinta atau bukan? Lalu ia mengambil bingkai foto yang ada di dalam lemari kacanya. Ia memandangi foto itu. Foto dirinya bersama Kania ketika mereka di pantai.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
20 Agustus 2014
Read the rest ^,^
Jumat, 08 Agustus 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : III
Hari mulai gelap. Lampu jalan telah hidup dan jalanan semakin ramai.
Supir membelokkan mobil ke kiri untuk mengisi bahan bakar di SPBU. Dava
memutuskan untuk keluar dari mobil dan berlari menuju toilet. Setelah
keluar dari toilet ia tidak sengaja menabrak seseorang.
"Aw!"
"Ma, maaf." ujar Dava.
Wanita
berpenampilan feminim yang ditabrak Dava itu hanya terdiam setelah
melihat wajah Dava. Ia kemudian tersenyum. Dava tidak membalas senyum
itu dan segera berlari menuju mobil. Mobil pun meluncur meninggalkan
SPBU.
******
Keesokan harinya...
"Kania, Kania"
"Iya, iya. Tunggu."
"Yaelah, lama banget si lu? Kita ini mau jogging, gue rasa lu ga usah dandan."
"Siapa juga yang dandan? Ga liat muka gue bahkan ga pake bedak. Gimana sih lu?"
"Eh? Iya juga ya. Gue kira lu dandan, abisnya tuh muka putih amat!"
"Apaan sih? Kan emang dari sananya muka gue putih, ga kaya lu item!"
"Idih nih bocah!" Dava pun mencubit hidung Kania.
Kania
yang tidak terima dengan perlakuan Dava pun mengejarnya. Dava berlari
sambil tertawa. Setibanya di taman mereka langsung istirahat karena
kelelahan setelah berkejaran. Dava mengelap keringat di kening Kania.
Kania memukul tangan Dava.
"Aduh! Kok dipukul?" rintih Dava.
"Lu ngapain pegang-pegang jidat gue?"
"Eh, gak usah GR! Jidat lu banyak banget keringatnya, gue risih tau liatnya!"
"Ngapain juga lu liatin jidat gue?" tanya Kania tak mau kalah.
"Haaah.Yaudah deh, maaf. Gue mau nanya nih."
"Apaan?"
"Lu itu kenapa sih ga mau panggil gue Abang atau Kakak atau apa kek? Gue kan lebih tua 2 tahun dari lu.."
"Hahaha, kirain mau nanya apa!"
"Kok malah ketawa? Jawab aja deh!"
"Hahaha.
Ngapain gue panggil lu Abang atau Kakak? Emangnya lu siapa gue? Sejak
pertama kali kita ketemu lu udah jailin gue, bikin gue nangis, bahkan lu
ga mau nolongin gue..." Kania mengingat masa lalunya.
"Ya ampun,
masih diinget juga. Gue minta maaf kali. Namanya juga masih anak-anak.
Maafin dong." kata Dava sambil mengedipkan mata kirinya.
"Genit lu ah!"
Mereka
pun mulai saling meledek. Setelah puas berolahraga mereka memilih untuk
pulang. Sesampainya di rumah Dava melihat ada mobil hitam yang
terparkir di halaman rumahnya. Dengan sopan Dava masuk ke dalam
rumahnya. Di sana ada sosok pria berusia sekitar 45 tahun bersama
seorang gadis yang sedang asik mengobrol dengan orangtua Dava.
"Dava. Sini sayang. Kenalan dulu dengan teman Papa dan anaknya." ucap Papa Dava.
Dava pun menghampiri mereka.
"Dava, Om." Dava menjabat tangan pria itu.
"Dava." ucap Dava pada gadis berambut keriting itu.
"Ratu. Eh, bentar deh. Kayanya kita pernah ketemu. Di mana yaa... Oh di SPBU!" ucap gadis itu riang.
"Oh, iya.." balas Dava datar.
"Oh, jadi kalian sudah pernah ketemu? Kebetulan sekali." sambung Papa Dava.
Papa Dava menyuruh mereka untuk mengobrol di halaman belakang. Mama Dava
hanya tersenyum tipis. Dava dan Ratu menghilang di balik tembok.
orangtua mereka melanjutkan obrolannya yang sempat tertunda.
Dava
mempersilahkan Ratu duduk di kursi berwarna putih yang berada tepat di
depan kolam berenang. Ratu duduk dengan senyum manis. Tidak ada kata
yang keluar dari mulut Dava.
"Orang bilang kita bisa
kebetulan bertemu dengan seseorang. Tapi, menurutku tidak ada yang
namanya pertemuan secara kebetulan. Kita bertemu dengan seseorang pasti
untuk sebuah alasan. Meski saat ini kita tidak tahu alasannya, suatu
saat nanti kita akan tahu." ratu memulai.
"Ya." jawab Dava singkat.
"Maaf ya, gue mau ganti baju dulu. Gerah banget. Lu bisa balik ke depan." lanjut Dava.
"O oke."
Ratu
berjalan dengan kecewa. Untuk pertama kalinya dia merasa diabaikan.
Beberapa menit kemudian Ratu dan Papanya pamit pulang. Setelah Papa Ratu
berjabat tangan dengan orangtua Dava, Ratu pun mencium tangan mereka
dengan tersenyum manis. Ratu dan Papanya pergi meninggalkan rumah Dava.
"Dava" panggil Mama.
"Iya, Ma." Dava langsung keluar kamar.
"Kamu tadi ngobrol apa aja sama Ratu?" tanya Mama.
"Ga ngobrol apa-apa kok. Orang Dava tadi ganti baju terus baru sekarang keluar."
"Hem, kamu kayanya ga suka ya sama dia?"
"Apaan sih, Ma? Dava kaya diinterogasi deh." protes Dava.
"Udah jawab aja."
"Ya
namanya juga baru kenal. Tapi Dava tadi sedikit jengkel aja sama dia.
Sok dekat gitu sama Dava. Waktu di belakang tadi dia juga ngomong aneh."
"Apapun
itu kamu harus inget, Mama dan Papa sudah jodohin kamu sama Kania. Tapi
meskipun begitu bukan berarti kamu harus menghindar dari Ratu, karena
bagaimanapun dia adalah anak tunggalnya teman sekaligus rekan bisnis
Papa. Oke sayang?"
"Iya, Ma. Dava mau istirahat dulu ya, Ma. Capek banget abis jogging tadi."
Di rumah Kania...
Kania
sedang duduk di kursi empuk berwarna pink di dekat jendela. Ia masih
mengenakan kaos biru dan celana selutut yang ia kenakan ketika jogging
bersama Dava tadi. Kania mulai melamun. Ia berpikir kenapa Dava sangat
menyebalkan dan selalu membuatnya marah tapi terkadang Dava juga
membuatnya tersenyum dan merasa nyaman.
******
2 bulan berlalu.
Saat
ini Mama Dava sedang berkunjung ke rumah Kania. Di sana hanya ada sang
Mama karena Kania sedang pergi bersama Dava. Mereka mencari buku untuk
keperluan kuliah Kania.
Saat tengah asik mengobrol,
tiba-tiba Mama Dava menyadari sesuatu. Setelah bertahun-tahun menjadi
tetangga, mengapa baru sekarang ia menyadarinya? Di dinding ruang tamu
itu tampak berbeda dengan rumah-rumah orang lain pada umumnya. Di sana tidak terdapat foto keluarga Kania. Yang ada
hanyalah foto-foto Kania saat masih kecil hingga sekarang yang terletak
di atas meja dan beberapa foto Mamanya, tanpa satu pun foto sang Papa.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
8 Agustus 2014
Read the rest ^,^
Selasa, 05 Agustus 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : II
"Ngapain lu di sini?"
"Apaan sih lu? Orang kalo disapa tuh ya dijawab dong, kok malah dibentak?"
Orangtua Dava pun masuk ke dalam rumah Kania yang segera disambut oleh Mama Kania. Sementara itu Dava dan Kania masih berada di depan pintu.
"Eh, lu belom jawab!" sergah Dava.
"Iya! Haloooo Dava. Selamat pagi! Puas?!"
"Nah, gitu dong." Dava terlihat senang.
"Terus lu ngapain ke sini?" tanya Kania.
"Ga tau. Orangtua gue ngajak ke sini. Ga tau mau ngapain."
Tak lama kemudian Mama Kania dan orangtua Dava pun keluar sambil tersenyum.
"Ayo Kania, Dava."
"Loh? Kita mau ke mana Ma? Kok Dava diajak juga sih? Kalo Om dan Tante sih gapapa." ucap Kania sambil tersenyum ramah kepada orangtua Dava.
"Kan kita mau jalan-jalan, sayang." jawab Mama Kania.
"Udah ayo, ayo. Kita langsung pergi aja." ajak Papa Dava.
Kania dan Dava yang masih tidak mengerti masuk ke dalam mobil dengan tampang kebingungan.
Papa Dava duduk di samping supir, Mama Kania dan Mama Dava duduk berdua di kursi tengah, sedangkan Dava dan Kania duduk di kursi belakang. Mama Dava dan Mama Kania sibuk berbincang yang kerap diselingi tawa dan sesekali Papa Dava juga ikut tertawa. Kania dan Dava masih terdiam. Tiba-tiba Dava mulai menjahili Kania. Kania yang kesal pun langsung marah-marah dan cemberut. Dava hanya tertawa melihat Kania.
******
"Nah, kita sudah sampai." ucap Papa Dava.
"Pantai??? Asiiiik." seru Dava dan Kania bersamaan.
"Apaan lu ngikutin omongan gue?" kata Kania dengan galak.
"Yeee, siapa juga yang ngikutin lu? Pede amat." balas Dava sambil menjulurkan lidahnya.
Kedua orangtua mereka hanya tersenyum. Setelah semuanya turun dari mobil, Dava langsung menarik jepit kecil berwarna kuning di rambut Kania dan langsung berlari yang kemudian langsung dikejar oleh Kania. Mereka berkejaran hingga di pinggir pantai meninggalkan kedua orangtuanya yang masih berada di samping mobil.
"Dava, Kania, jangan jauh-jauh!" teriak Mama Dava.
"Udah, Ma. Biarin aja. Mereka kan sudah besar." timpal Papa Dava.
Di kejauhan...
"Dava berentiiii!!!!"
"Weeek, kejar gue terus kalo mau jepit ini balik ke elu!"
"Dasar alis tebal rese!"
"Hahaha, buruan dong larinya. Atau gue bakalan lempar nih jepit ke air."
"Jangan dong! Itu kan jepit dari Papa gue!"
Lalu Kania pun berhenti berlari. 'Itu jepit dari Papa gue' batin Kania. 'Jangan dibuang', lanjutnya.
Dava juga berhenti berlari. Ia pun mendekati Kania. Sekarang posisi mereka hanya berjarak setengah meter dari pinggir pantai. Air pantai mulai membasahi kaki mereka.
"Maafin gue, Kania." sesal Dava.
Kania hanya mengangguk dalam diam. Dava langsung memasangkan jepit itu di rambut Kania. Kania masih diam. Lalu...
"Nih..." tawar Dava sambil membuka genggaman tangannya tepat di depan wajah Kania.
"Kacang? Makasih Dava."
Kania pun mengambil sebungkus kecil kacang mede yang ada di tangan Dava. Membuka bungkusnya dan memakannya. Mereka pun duduk sambil melihat ombak. 10 butir kacang mede pun habis dilahap Kania. Kania menoleh pada Dava, begitupun Dava.
"Lu kenapa suka banget makan kacang?" tanya Dava.
"Mau tau aja sih lu!"
"Dasar!"
Mereka pun menghampiri orangtua mereka yang tengah duduk di atas tikar.
"Tumben kalian akur." kata Mama Kania.
"Tadi Dava kasih Kania kacang, Tan. Makanya dia diem kaya ini. Hahaha" ucap Dava.
"Apaan sih lu?" Kania memukul bahu Dava.
"Sakit tahu!" keluh Dava.
"Biarin, weeeek!"
Mereka berlima sarapan pagi bersama. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah 10. Bahkan saat sedang makan pun mereka masih terus saling meledek. Selesai makan Papa Dava mengajak mereka berlima untuk bicara serius.
"Dava, Kania... Papa, Mama dan Tante sudah sepakat." Papa Dava memulai.
"Sepakat apa, Pa?" tanya Dava.
"Sebenarnya sudah lama kami merencanakan ini sejak kalian masih SMP. Jadi, kami berniat untuk menjodohkan kalian berdua." lanjut Papa Dava.
"Apaaa??!" seru Kania dan Dava.
"Ga, Pa!"
"Kania ga mau, Ma." protes Kania.
"Tenang. Ini kan baru rencana. Keputusan ada di tangan kalian. Tapi, kami harap kalian mau mencoba dulu ya. Kita kan sudah saling mengenal cukup lama dan kami pikir kalian berdua cocok kok. Jadi, jalanin dulu ya. Kita liat selama 3 bulan ini. Kalo kalian merasa cocok kita lanjutin perjodohan ini, oke?" Mama kania menjelaskan dengan tenang.
"Iya, sayang. Mama juga udah anggap Kania sebagai anak sendiri kok. Kania itu manis, baik, ceria, pinter masak lagi. Menantu idaman banget deh." puji Mama Dava.
"Makasih, Tante." senyum Kania tersimpul.
Kania merasa senang. Ia menatap Dava dengan tatapan kemenangan. Telinga Dava pasti panas karena mendengar Mamanya memuji Kania. Dava hanya membalasnya dengan senyum mengejek. Selesai sarapan Dava dan Kania kembali bermain air. Kedua orangtua mereka melanjutkan perbicaraan mengenai perjodohan ini.
Langit mulai berwarna kekuningan pertanda sudah sore. Mereka pun memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang mereka berfoto bersama. Mereka berlima berfoto dengan senyum lebar dan tertawa riang. Setelah 3 kali berfoto bersama, orangtua mereka meminta Dava dan Kania berfoto berdua. Dengan terpaksa mereka menuruti kehendak orangtuanya. Namun hasilnya tidak ada yang menunjukkan keromantisan di antara keduanya. Di foto pertama, Dava tersenyum lebar sedangkan Kania cemberut. Di foto lainnya Kania tersenyum sedangkan Dava cemberut. Selanjutnya Dava dan Kania berhadapan sambil menjulurkan lidahnya dan membuat mata mereka juling. Dan di foto terakhir Dava menarik rambut Kania dan Kania terlihat kesal.
To Be Continued . . .
Umi Yanti
5 Agustus 2014
Read the rest ^,^
Minggu, 03 Agustus 2014
Segenggam Kacang Dava untuk Kania : I
"Alis tebal!"
"Bibir tipis!"
"Tebal!"
"Tipis!"
"Dasar nyebelin!"
"Lu yang lebih nyebelin!"
Braak!
2 pagar yang bersebelahan pun dibanting oleh 2 orang yang tidak pernah rukun itu.
"Kania..." panggil seorang wanita dewasa yang sedang menonton tivi di ruangan bernuansa hitam putih.
"Iya, Ma." jawab Kania lesu ketika memasuki rumah.
"Kamu kenapa sayang? Kok pagarnya dibanting gitu sih?"
"Ga papa kok, Ma. Kania ke kamar dulu ya."
Kania membuka pintu kamarnya lalu menutupnya dengan pelan. Ia mulai menghentak-hentakkan kakinya. Memukul boneka-boneka yang ada di atas meja segitiga kecil. Kemudian merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur bersprei merah muda. Kania pun berteriak, "Dasar alis tebal nyebeliiiiin!!!"
Mama yang mendengar teriakan itu hanya menggelengkan kepalanya. "Kania, Kania, hahaha..."
Sementara itu di rumah yang bersebelahan dengan rumah Kania...
"Ma, Pa. Dava pulang."
"Dava... Kok mukanya merah? Kamu lagi marah ya?"
"Biasa, Ma. Itu tuh, si Kania. Ga bisa diajak bercanda!"
"Oh Kania... Ah, paling kamunya kali yang keterlaluan bercandanya." ucap seorang wanita cantik berkulit putih.
"Mama kok belain Kania sih?!" Dava pun meninggalkan Mamanya.
"Ada apa, Ma?" tanya pria paruh baya berkumis.
"Biasa, Pa. Si Dava abis berantem dengan Kania."
"Oh... Mereka itu ga berubah yah. Udah besar juga masih aja kelakuannya kaya waktu mereka masih kecil."
"Hahaha, biarin aja, Pa. Lucu kok!"
Malamnya...
Kania sedang makan malam bersama Mama. Mama yang penasaran dengan sikap Kania sore tadi akhirnya bertanya.
"Sayang, kamu kenapa sore tadi? Kok marah-marah?"
"Gimana ga marah, Ma? Dava tuh nyebelin banget!"
"Emang dia ngapain?"
"Waktu di kampus tadi, ternyata dia itu kakak tingkat Kania yang kebetulan jadi panitia ospek. Eh, aku ga ada salah apa-apa malah dikerjain sama dia!" jelas gadis berusia 18 tahun itu.
"Kamu diapain?"
"Aku disuruh lari keliling lapangan 2 kali, mana cuaca lagi terik. Kalo aku pingsang gimana?"
"Hmm... Yaudah sayang. Yang penting sekarang kamu kan ga apa-apa. Masih sehat." ucap Mama sambil tersenyum.
"Tapi kan ga adil banget, Ma. Apa coba maksud dia kaya itu?"
"Dia cuma iseng mungkin. Udah maafin aja. Oh ya, besok kita jalan-jalan yuk. Ospek kamu kan udah selesai dan besok libur."
"Serius? Wah asik! Mauuuu!" teriak Kania bersemangat.
Selesai makan Kania kembali ke kamarnya. Ia merasa sangat kelelahan. Setelah 4 hari menjalani opsek sebagai mahasiswa baru, akhirnya besok ia dapat berlibur. Rasanya sungguh tidak sabar untuk bisa jalan-jalan bersama Mamanya.
Kania hanya tinggal bersama Mamanya. Mama berprofesi sebagai seorang desainer. Sedangkan Papa Kania telah lama meninggal dunia. 8 tahun setelah kepergian sang Papa, Kania dan mamanya pindah ke rumah yang sekarang mereka tempati. Rumah Kania bersebelahan dengan rumah Dava. Meskipun telah bertetangga selama hampir 7 tahun, mereka tidak pernah akur. Selalu ada saja hal yang mereka ributkan. Baik Mama ataupun orang tua Dava hanya bisa tertawa melihat kelakuan mereka.
******
Suara burung berkicauan. Sinar matahari mulai menyinari kamar Kania. Tepat pukul 6 pagi Kania terbangun. Dengan semangat dia bergegas ke kamar mandi. Ia merasa sangat senang karena akan menghabiskan waktunya bersama Mama.
Selesai mandi Kania mencari Mama yang ternyata telah menunggu di ruang tivi. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk.
"Siapa sih pagi-pagi udah bertamu?" gerutu Kania.
"Kok ngomong gitu sayang? Ayo buka pintunya."
Beberapa langkah kemudian Kania tiba di depan pintu. Dengan perlahan Kania membuka pintu sambil memaksakan senyum. Kania merasa kesal karena ada orang yang bertamu sepagi ini padahal ia dan Mama hendak pergi.
"Eh, Om, Tante. Mari masuk..." ujar Kania terbata-bata.
"Halo Kania" sapa pria berkulit cokelat yang memakai kaos hitam.
"Ha? Dava! Ngapain lu di sini?" ucap Kania dengan nada jengkel
To Be Continued . . .
Umi Yanti
3 Agustus 2014
Read the rest ^,^
Sabtu, 02 Agustus 2014
Bawalah Aku ke Hatimu : Ending
Awan berwarna kelabu. Langit terlihat mendung. Dedaunan bergoyang tertiup hembusan angin.
Audrey menatap dirinya di cermin. Berjalan keluar kamar. Mengunci pintu rumah. Menaiki taksi yang menuju bandara. "Tunggu aku di sana, aku akan segera tiba." ucap Audrey pada Isabel melalui handphonenya.
15 menit kemudian...
"Isabel..."
"Audrey..."
"Aku mohon, tinggallah di sini."
"Kau tahu, itu adalah keinginan terbesarku. Tinggal di Indonesia dan melihat pria yang telah kucintai selama beberapa tahun ini. Tapi, sungguh menyakitkan setiap kali aku melihat pria itu bersama wanita lain."
"Jangan pergi dan carilah pria lain. Seorang Isabel sungguh sempurna. Pasti banyak pria di luar sana yang mengharapkan cintanya."
"Kita hanyalah manusia biasa. Ketika kita ada masalah, kita akan dihadapkan pada 2 pilihan. Maju atau mundur. Dan saat ini aku memilih untuk mundur. Aku lelah. Aku juga ingin merasakan bahagia."
Audrey langsung memeluk Isabel. Cairan hangat di pelupuk matanya tumpah. Menangis dalam diam. Bersedih atas keputusan sahabatnya itu.
"Maafkan aku Isabel.."
"Sudahlah, jangan menangis. Mana mungkin aku berada di antara kalian. Menjadi seorang wanita dan sahabat. Mana mungkin aku bisa menjalani 2 peran sekaligus. Sangat menyakitkan."
Audrey melepaskan pelukannya. Menatap erat mata Isabel.
"Ketika rasa sakit itu hilang maka kembalilah. Aku akan menunggumu." Audrey tersenyum.
Isabel hanya mengangguk. Lalu Isabel melihat jam tangannya.
"Sudah waktunya, selamat tinggal Audrey."
"Aku akan merindukanmu."
Isabel berjalan meninggalkan Audrey.
Tiba-tiba Isabel berhenti melangkah. Menoleh ke arah Audrey. Dan terdiam. Memandang wajah seorang sahabat yang sekarang berjarak 5 meter darinya.
"Saat ini aku memang memilih mundur dan pergi. Namun, akan tiba saatnya aku kembali dan melangkah maju." kata Isabel di dalam hati.
Keduanya melemparkan senyum. Isabel berbalik dan kembali melangkah meninggalkan Audrey.
******
Tok! Tok! Tok!
"Iya, sebentar." ucap Ayu lalu membuka pintu.
"Selamat siang." pria tinggi berjambul itu tersenyum riang.
"Danar! Ayo masuk. Silahkan duduk. Kakak panggil Audrey dulu ya."
Beberapa menit kemudian Audrey muncul. Matanya membesar melihat sosok pria berkemeja biru muda yang sedang duduk di sofa. Sang pria pun berdiri. Ia menghampiri Audrey.
"Aku telah mengambil keputusan. Aku sudah memikirkannya selama 2 tahun sejak aku terbangun dari koma."
"Apa?" tanya Audrey.
Danar pun mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya. Membuka kotak itu dan berkata, "Menikahlah denganku, Audrey."
Audrey menggigit bibir bawahnya sambil menahan senyum.
Danar dan Audrey berpelukan. Audrey menghela napas panjang. Ia merasakan kelegaan.
Akhirnya semua ini berakhir. Penderitaan, kesedihan, tangisan akan sirna. Kebahagiaan akan segera menghampiri mereka.
"Tunggu dulu. Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Hahaha... Iya, Danar. Bawalah aku ke manapun kamu pergi. Bawalah aku ke hatimu."
Audrey mencubit pipi Danar. Danar pun mencium kening Audrey dalam dekapannya.
~ The End ~
Umi Yanti
2 Agustus 2014
Read the rest ^,^
Jumat, 01 Agustus 2014
Bawalah Aku ke Hatimu : IX
"Universitas Stanford?!" Audrey terperangah.
Audrey bingung. Merasa tak percaya dan khawatir. Ia tak mengedipkan matanya. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ada sesuatu yang membuatnya sedih. Hatinya mulai kacau.
"Iya, Universitas Stanford. Haruskah kuulang untuk ketiga kalinya?" jawab Isabel tenang.
Audrey hanya diam. Menatap Isabel lalu beralih ke Danar. Masih diam.
"Bukankah itu kabar baik? Aku akan ke luar negeri. Berkumpul dengan orangtua dan kakakku. Tinggal bersama orang-orang yang menyayangiku, sangat menyayangiku." Isabel kembali bersuara.
Audrey dan Danar masih terdiam. Mata Danar kembali berkaca-kaca. Isabel memaksakan senyum pada keduanya. Kakinya mulai melangkah hendak meninggalkan mereka. Audrey meraih tangan kiri Isabel.
"Di sini juga ada orang yang menyayangimu. Sahabatmu..." ucap Audrey sambil menggenggam tangan Isabel dan menatap punggungnya penuh arti.
Isabel melepaskan genggaman Audrey dengan lembut dan masih membelakangi Audrey. Lalu ia pun kembali melangkah dan benar-benar keluar dari ruangan itu. Audrey dan Danar yang masih terkejut dengan ucapan Isabel hanya bisa diam terpaku melihat kepergian wanita yang memakai kemeja bunga-bunga berwarna putih-biru itu.
******
"Gak. Aku ga bakal melepaskan wanita yang sungguh mencintaiku."
Kevin mengambil jaket cokelatnya dan segera meluncurkan Chevrolet Camaro putih miliknya. Sesaat kemudian ia mencari nama Suzan di kontak handphonenya lalu menekan tombol hijau.
"Halo Suzan. Datanglah ke tempat kencan pertama kita. Aku menunggumu di sana. 10 menit lagi aku tiba."
Belum sempat Suzan menjawab, Kevin langsung mematikan panggilannya. Sorot mata Kevin sangat tajam. 'Tidak akan. Tidak akan. Tidak akan' batin Kevin.
Setibanya di tempat pertemuan...
"Maaf sudah membuatmu menunggu. Ayo!" ajak Kevin sambil memegang tangan kanan Suzan.
Kevin mulai mengantri dan melihat layar, matanya dengan jeli mencari film yang sesuai untuk mereka. Ya, sekarang mereka sedang berada di bioskop, tempat kencan pertama mereka. Setelah memilih film Kevin dan Suzan pun segera masuk ke Studio 3. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Kevin maupun Suzan sejak masuk ke dalam studio hingga selama film diputar. Setelah filmnya selesai mereka masih diam. Kevin kembali memegang tangan Suzan dan mengajaknya pulang tanpa mengucapkan satu kata pun.
Di dalam mobil akhirnya Kevin memecah keheningan.
"Suzan, maafin aku. Sungguh aku sayang dan cinta sama kamu. Aku ga akan biarin kamu pergi. Aku ga mau kita jauh."
"Tapi, kemarin kamu bilang kalo kamu suka sama Audrey. Sekarang kamu bilang kamu cinta sama aku dan ga mau pisah sama aku?! Kamu pikir aku apa?" Suzan mulai emosi.
"Saat itu pikiranku sedang kacau. Aku hanya salah mengartikan perasaanku terhadap Audrey. Semua ini karena janjiku pada adik yang sangat kusayangi, Danar."
Aku sedang bermain gitar di dalam kamar. Kemudian telepon rumah berbunyi. Aku segera keluar dari kamar dan mengangkat telepon itu.
"Halo? Ya, saya Kevin, kakaknya Danar. Apa?! Danar kecelakaan?"
Aku segera pergi ke rumah sakit. Di perjalanan aku teringat pada Isabel. Wanita yang selama ini dekat dengan Danar
bahkan aku pun kenal padanya. Aku segera meneleponnya dan mengabarkan
apa yang telah terjadi. Setibanya di suatu ruangan di rumah sakit yang kulihat adalah Danar yang sedang terbaring kesakitan dengan berlumuran darah. Dadaku terasa sesak. Aku menghampirinya.
Ia pun berkata, "Kak, tolong jaga Audrey."
"Audrey? Siapa?"
"Dia pacar Danar. Tolong jaga Audrey.."
Danar pun pingsan. Aku keluar dari ruangan itu. Tidak lama kemudian dokter pun keluar dan mengatakan bahwa Danar koma. Lalu Isabel muncul dengan raut muka pucat. Kami masuk ke ruangan itu. Danar sedang tertidur dengan perban melingkari kepalanya. Isabel menangis sambil mencium tangan kanan Danar. Aku hanya bisa diam membisu dan membiarkan air mataku mengalir.
1 jam kemudian aku memutuskan pulang untuk mengambil pakaian Danar. Di kamar Danar aku baru teringat akan pesan Danar. Aku pun mengirimkan pesan kepada Audrey melalui handphone Danar. Aku benar-benar tidak sempat bertemu dan melihat wajah Audrey. Beberapa hari kemudian aku pun berhasil mendapatkan informasi tentang Audrey. Dan aku sangat terkejut, bagaimana bisa Audrey dan Isabel berteman baik? Apakah mereka tidak tahu bahwa di antara mereka ada cinta segitiga? Entahlah! Yang terpenting sekarang adalah aku harus menjaga Audrey seperti permintaan Danar.
"Lalu?" Suzan menunggu kata yang akan keluar dari mulut Kevin selanjutnya.
"Selama ini aku hanya terbawa suasana. Aku hanya ingin menjaga Audrey untuk Danar. Maafin aku karena aku begitu tega mengatakan semua itu kemarin. Maukah kau kembali padaku?" tanya Kevin
"Danar adalah orang baik. Kamu juga orang baik. Kemarin Audrey memiliki kamu sebagai pelindung dan penjaganya. Tapi sekarang, besok, dan selamanya aku yang memiliki kamu."
Kevin dan Suzan pun berpelukan. Suzan tersenyum bahagia, begitupun dengan Kevin. Kevin membelai rambut hitam Suzan.
******
To Be Continued . . .
Umi Yanti
1 Agustus 2014
Read the rest ^,^
Kamis, 31 Mei 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : VIII
Saat ini Danar sedang mendengarkan alunan merdu instrumen musik klasik favoritnya, yaitu Ballade Pour Adeline - Richard Clayderman. Dan ini adalah kali ke-tiganya Danar mengulangi instrumen ini sejak 20 menit yang lalu. Entah mengapa ia kemudian teringat akan sosok gadis yang telah lama ia kenal. Sosok gadis manis dan pintar. Namun dibalik semua itu ada satu hal yang membuatnya sangat mengingatnya yaitu kegigihan gadis itu mendapatkan cinta Danar. Siapa lagi kalau bukan Isabel. Sejak Danar sadar hingga sekarang ia belum melihat batang hidung Isabel.
'Aku harus menemui Danar' ucap isabel dalam hati. 'Uumm, tidak. Aku harus menemui Audrey terlebih dahulu'. Setelah berdebat dengan kata hatinya, Isabel pun mendapatkan keputusan. Ia segera mengambil kunci mobil yang ada di atas meja riasnya dan segera melaju membelah keheningan pagi.
"Drey, kamu mau ke rumah sakit ya?" tanya Ayu.
"Iya. kakak mau kemana? Kok rapih amat?"
"Kakak mau ke kampus, ada urusan di klub Seni."
"Oh..."
*****
Aroma khas rumah sakit ini membuat perasaan siapapun menjadi sedikit tenang. Mulai dari satpam yang murah senyum, para perawat yang ramah, serta dokter-dokter yang baik hati akan membuat semua orang merasa nyaman di sini. Kamar VIP nomor 08-A adalah ruangan yang ditunggui oleh Danar selama setahun ini. Koridor yang dilewati untuk menuju kamar Danar pun cukup sepi dan memiliki aura positive.
Di dalam kamar nomor 08-A ini ada dua sejoli yang sedang bercengkrama.Tiba-tiba kesenangan mereka sedikit terusik oleh kehadiran orang lain.
"Selamat pagi! Bagaimana keadaannya?"
"Pagi. Baik, Dok."
"Saya periksa sebentar ya.."
Seorang dokter pria paruh baya pun memeriksa dan mengecek kondisi Danar. Beberapa menit kemudian dokter itu pun menyudahi pemeriksaannya.
"Semuanya baik-baik saja. Kalau begitu saya permisi, jangan lupa obatnya diminum ya. Pagi."
Dokter itu pamit dan meninggalkan Danar dan Audrey.
Selang beberapa menit berikutnya pintu kamar Danar kembali diketuk.
Tok! Tok! Tok!
Kemudian masuklah seorang gadis manis berambut pendek dengan model Bob-sebahu.
"I-sabel.." ucap Danar.
Audrey hanya bisa melihat interaksi mata Danar dan Isabel.
"Ya" sahut Isabel. "Apa kabar, Danar?" lanjut Isabel.
"Baik. Kamu?"
"Ya. Maaf Audrey, boleh tinggalin kami sebentar gak? Aku mau ngomong sama Danar." pinta Isabel.
"Ya, baiklah. Aku akan tunggu di luar." Audrey meng-iya-kan.
******
Tak lama kemudian Isabel meminta Audrey masuk ke kamar Danar. Mata Isabel terlihat sembab. 'Apa yang mereka bicarakan?' batin Audrey. Saat Audrey melihat mata Danar, ternyata mata kekasihnya itu pun memerah.
Isabel memulai kembali pembicaraan, namun kali ini bersama Audrey juga.
"Maaf Drey karna kamu udah nunggu lama."
"Gak papa kok. Emangnya kalian tadi ngomongin apa?" tanya Audrey polos.
"Drey, dua hari lagi aku bakalan pindah."
"Pindah? Maksudnya? Ke mana, Bel?"
"Luar negeri. Kalifornia, Universitas Stanford..."
"Universitas Stanford?"
Umi Yanti
31 Mei 2012
Read the rest ^,^
Minggu, 13 Mei 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : VII
"Danar?" ucap Audrey tersenyum halus.
Mata Danar tampak berkaca-kaca. Mungkin karena perasaannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata yang membuat Danar hingga saat ini hanya memandangi Audrey dengan penuh arti. Diam-diam ternyata Isabel sedang memperhatikan Danar dan Audrey dari luar ruangan. Isabel ikut larut ke dalam perasaan haru tersebut. Dirinya merasa sangat bahagia karena Danar telah sadar dari komanya. Setelah setahun berlalu akhirnya Isabel kembali dapat melihat mata cokelat tajam Danar. Sungguh kebahagiaan yang amat besar bagi Isabel!
Keesokannya Audrey bangun lebih awal dari biasanya. Ayu menjadi sedikit terkejut akan kelakuan adiknya itu. Bangun lebih awal, tersenyum, mengalunkan sebuah lagu, dan ditambah lagi dengan membersihkan halaman. Ayu pun menghampiri Audrey.
"Drey! Kayaknya kamu lagi seneng niih. Tumben banget mau bangun pagi-pagi dan ngebersihin halaman."
"Oh iya! Aku lupa cerita ya, Kak?" Audrey menyadari.
"Cerita soal apa, Drey?"
"Danar, Kak! Danar!"
"Danar? Dia sudah sadar ya?!" tebak Ayu dengan spontan.
"Betul, betul sekali, Kak!"
Audrey segera memeluk Ayu.
*****
Kevin sedang memandangi handphone-nya. Berharap ada sebuah panggilan masuk bertuliskan nama Suzan. Namun sejak 15 menit yang lalu handphone Kevin sama sekali tidak berbunyi. Rupanya Kevin lupa mengaktifkan handphone-nya.
"Sialan! Aku lupa aktif-in handphone lagi! Pantes aja dari tadi ni benda diem aja!" umpat Kevin dengan kesal.
Lalu Kevin menekan tombol merah yang ada pada handphone tersebut untuk beberapa detik dan dengan seketika handphone-nya telah aktif. Namun tetap saja tidak ada telepon maupun SMS yang masuk. Rasanya dia sangat merindukan Suzan.
"Syukur deh kalo Danar sudah sadar. Sekarang kalian bisa bersama lagi. Tapi gimana dengan Isabel?" tanya Ayu.
"Isabel... Emm, dia..."
"Ya sudah, nanti aja mikirin dia. Sekarang kamu harus fokus ke Danar terlebih dahulu, oke?"
Audrey hanya mengangguk.
Siangnya Audrey mengunjungi Danar. Danar terlihat lebih segar. Dengan senyumnya yang khas mampu membuat Audrey semakin bahagia. Karena keadaan Danar yang masih belum bisa mengkonsumsi makanan selain makanan dari rumah sakit, Audrey pun batal membelikan cokelat, cemilan favorit Danar. Namun Audrey telah menemukan gantinya.
"Danar!" kejut Audrey.
"Audrey." Danar tersenyum.
"Nih, aku bawa hadiah buat kamu. Tapi bukan cokelat."
"Jadi, apa?"
"Coba deh buka!"
"Waah, kotak musik. Bagus banget, makasih ya Drey!"
Danar pun mencium pipi kanan Audrey.
Sementara di waktu yang bersamaan Suzan sedang asyik bermain dengan komputer kesayangannya. Ia sibuk berkutik dengan tugas kampusnya. Ia pun membuka Winamp dengan memutar sebuah lagu.
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Hingga tiba saatnya aku pun melihat
Cintaku yang khianat, cintaku berkhianat
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tanpamu butiran debu
*****
Umi Yanti
13 Mei 2012
Read the rest ^,^
Kamis, 19 April 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : VI
Setelah 2 minggu berlalu, Suzan dan Kevin memutuskan untuk tidak saling menghubungi satu sama lain. Mereka merenungi apa yang harus mereka lakukan untuk kelanjutan hubungan mereka. Apakah harus dilanjutkan atau diakhiri sampai di sini?
Kevin sedang duduk di sebuah gazebo yang tepat berada di depan kamarnya. Di sekelilingnya ada banyak sekali jenis bunga yang sedang bermekaran. Aroma khas yang keluar dari bunga-bunga tersebut membuat pikiran Kevin cukup tenang. Udara pun terasa sejuk. Sesaat kemudian ia tertidur sambil memeluk foto dirinya bersama Suzan.
"Kak, aku mau ke rumah sakit. Kakak mau ikut gak?" tanya Audrey pada Ayu.
"Sorry banget Drey, kakak juga mau pergi nih. Ada urusan mendadak di kampus."
"Oh, kalo gitu kita bareng aja kak."
"Oke, tunggu bentar ya."
Setelah menutup dan mengunci pintu rumah dan pagar mereka pun segera menyetop sebuah taksi. Di tengah perjalanan, Audrey tiba-tiba menyuruh taksi itu berhenti dan segera turun.
"Drey, kamu mau kemana?" teriak Ayu.
"Sebentar kak, aku mau beli sesuatu!"
Tidak lama kemudian Audrey kembali dengan membawa satu buket bunga Chrysanthenum ungu yang memiliki arti keinginan kuat untuk sehat. Ayu yang melihat Audrey membawa bunga tersebut pun tersenyum halus.
"Ini hadiah untuk Danar." ucap Audrey bersemangat.
Sepanjang perjalanan Audrey terus tersenyum. Entah mengapa ia merasa sangat bahagia dan tenang.
*****
"Danar, happy 3rd anniversary. Hari ini gak terasa ya kita udah jadian selama 3 tahun. Tapi sayang selama setahun ini kamu terus tidur... Aku mohon kamu bangun ya, biar kita bisa ngerayain bareng."
Audrey mengecup kening Danar dengan lembut. Mengelus pipinya. Menggenggam tangannya. Dan memeluknya dengan hangat. Air mata Audrey mengalir di pipi Danar. Audrey teringat dengan bunga yang ia beli tadi. Ia segera meletakkannya di samping ranjang Danar. Ia tersenyum.
Dengan perlahan Danar menggerakkan bola matanya. Ia membuka kelopak matanya dengan amat perlahan. Audrey yang melihat kejadian itu terkejut. Ia langsung menekan tombol untuk memanggil dokter. Audrey berulang kali menekan tombol tersebut. Ia menggenggam erat jari-jari lemas Danar.
Akhirnya Dokter pun tiba dengan dua perawat. Mereka segera memeriksa kondisi Danar. Audrey tersenyum bahagia hingga ia meneteskan air mata. Ia meraih kalung pemberian Danar.
"Bagaimana dok keadaan Danar?" tanya Audrey dengan antusias.
"Syukurlah, kondisinya cukup stabil. Dia sungguh beruntung. Nanti kami akan memeriksanya lebih lanjut. Kami permisi." jelas dokter.
"Terima kasih Dok! Terima kasih!"
Dokter dan perawat pun keluar. Kini tinggallah Audrey dan Danar di dalam ruangan itu. Audrey menghampiri ranjang Danar dengan senyum. Namun Tidak ada ekspresi apa pun yang ditunjukkan oleh Danar. Audrey menjadi ragu. Ia memelankan langkah kakinya. Raut wajahnya menjadi sedih. Tetap tidak ada ekspresi dari Danar. Wajahnya dingin, seolah-olah tidak memperdulikan Audrey.
"Danar..."
Tidak ada jawaban.
"Danar, kamu kenapa diam? Kamu gak inget sama aku ya? Aku Audrey. Audrey. Kamu inget kan?"
Tetap tidak ada jawaban.
"Eee, setahun yang lalu kamu kecelakaan terus koma. Waktu itu kita mau ngerayain hari jadi kita yang ke-2. Mmm... Hari ini kita anniversary yang ke-3 loh. Kamu inget kan? Oh iya, kalung ini kamu loh yang kasih ke aku..."
"I LOVE YOU, Audrey." ucap Danar memutuskan perkataan Audrey.
*****
Umi Yanti
19 April 2012
Read the rest ^,^
Sabtu, 14 April 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : V
“Kevin, kamu sebenernya kenapa? Aku bingung sama kamu.”
“Maafin aku Suzan. Aku Cuma ingin jujur sama kamu, aku gak ingin kamu tau hal ini dari orang lain.”
Raut muka Kevin benar-benar menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak ingin Suzan mendengar pengakuannya. Namun, mungkin akan lebih baik jika Suzan mendengar langsung penjelasan itu dari Kevin.
“Tapi vin...”
“Suzan, aku sayang banget sama kamu, kamu tau kan?”
“Ini, ini bikin aku sakit banget. Aku...” cairan hangat di pelupuk mata Suzan pun tumpah.
Suzan pun berlari meninggalkan Kevin. Kevin mengejar. Namun, sesaat kemudian Suzan membalikkan badannya dan melarang Kevin untuk mengejarnya. Ia sedang ingin sendiri. Kevin yang juga merasa sedih tidak dapat berbuat apa-apa.
Tidak jauh dari taman itu, masih ada Isabel dan Audrey yang juga sibuk dengan masalah mereka sendiri. Isabel pun menjelaskan apa yang selama ini ia alami dan rasakan. Tidak mau kalah dengan Isabel, Audrey pun mengatakan bahwa Isabel tidak pantas menjadi sahabatnya lagi karena ia telah menyembunyikan hal ini darinya.
“Kenapa kamu gak pernah cerita sama aku? Kalo aja kamu bilang dari dulu, mungkin kita gak bakal kayak gini Bel!” Audrey memarahi Isabel.
“Semua ini demi Danar. Aku biarin kalian bersatu karena aku tau Danar sayang banget sama kamu. Danar memang sejak lama suka sama aku, tapi sejak kehadiran kamu dia mulai suka sama kamu. Sebagai orang yang sangat cinta sama dia, aku rela lepasin dia biar kalian bisa bersama. Aku rela Drey.”
“Jadi, sebenarnya aku adalah batu penghalang kalian, penghalang cinta kalian. Kalo aku gak pernah muncul di antara kalian, mungkin kalian bakalan bisa sama-sama.” Audrey menyesal.
“Drey, aku benar-benar minta maaf, aku cuma mau jujur sama kamu.”
“Aku ngerti Bel. Aku juga gak bisa nyalahin kamu atau pun Danar. Kamu tau kan, cinta aku begitu besar buat Danar. Mungkin sebaiknya untuk beberapa saat ini, kita gak usah ketemu dulu.” pinta Audrey.
“Iya, benar. Mungkin akan lebih baik.”
Mereka pun pulang. Sesampainya di rumah, Ayu heran melihat mata sembab adiknya itu. Audrey segera berlari menaiki tangga. Membuka pintu kamarnya dan meluncur di tempat tidurnya. Ia menarik foto Danar yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Kemudian dipeluknya foto itu.
Ayu menyusul Audrey. Ia sangat bingung dengan sikap tidak wajar Audrey. Ia sangat yakin telah terjadi sesuatu. Di dalam kamar Audrey sedang mengalun sebuah lagu yang di bawakan oleh M2M.
Did I lose, my love to someone better?
And does she love you like I do?
I do, you know I really really do.
Well hey, so much I need to say.
Been lonely since the day.
The day you went away...
So sad but true, for me there’s only you.
Been lonely since the day.
The day you went away...
Ayu segera mengecilkan volume lagu tersebut. Ia mendekati Audrey dan berusaha mencari tau apa yang telah terjadi.
“Drey, kamu kenapa?”
“Kak...” pandangan Audrey tidak jelas karena di penuhi oleh air mata.
“Iya, kenapa kamu nangis? Apa ada hubungannya sama Isabel?” Ayu menebak.
Dengan perlahan Audrey menjelaskan semua yang telah terjadi antara dirinya dan Isabel. Dengan perasaan iba, Ayu terus mendengarkan cerita adik sepupunya itu. Audrey sekarang berada di dalam pelukan hangat Ayu.
“Untuk itulah selama ini kakak kurang suka sama Isabel, kakak merasa ada yang ia sembunyikan. Dan sekarang benar kan? Ia benar-benar menyembunyikan sesuatu dari kamu.”
“Tapi, sejujurnya aku tidak marah padanya. Melainkan aku merasa bersalah pada Isabel, kak.”
*****
Umi Yanti
13 April 2012
Read the rest ^,^
Sabtu, 07 April 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : IV
1 bulan kemudian...
"Aduh!" rintih Audrey.
"Drey!"
Kevin segera membantu Audrey berdiri. Audrey terjatuh karena tali sepatunya terlepas. Kevin sangat mengkhawatirkan Audrey.
"Drey, lutut kamu berdarah..."
"Ah, masa'?"
"Sini, kita ke UKS."
"Ah, gak usah deh. Cuma luka kecil kok." Audrey menolak.
"Biarpun luka kecil itu harus diobatin."
Dengan terpaksa Audrey pun menuruti bujukan Kevin untuk ke UKS. Di sana mereka hanya berdua. Kevin segera mengobati luka Audrey. Sudah sejak seminggu yang lalu saat mereka sedang berdua Kevin sering merasa gugup. Apalagi ketika melihat rintihan Audrey, ia sangat merasa cemas.
*****
Pagi ini udara cukup segar di Jakarta. Jalanan terlihat sepi dan kendaraan masih sedikit yang lalu-lalang. Isabel sedang mengajak jalan-jalan si Lamborghini kuningnya. Seminggu sekali Isabel selalu membawa mobil tersebut untuk di service. Kemudian ia mengambil handphone yang ada di dalam tasnya dan menelepon Audrey.
"Halo?"
"Drey, kita jalan-jalan yok!" ajak Isabel.
"Emm, ke mana?"
"Ke mana ya? Entar aja deh nentuin tempatnya. Sekarang aku jemput kamu dulu ya. Siap-siap gih!"
"Oke deh. Tunggu bentar. Bye."
Tit. Telepon dimatikan. Pikiran Isabel menerawang. Nampaknya ini bukanlah pertemuan biasa yang sering ia lakukan dengan Audrey.
Di rumahnya, Audrey sedang sibuk merapikan bajunya. Maklum, Audrey memang sedikit bermasalah dengan yang namanya 'kerapian'. Ayu yang melihat Audrey sedang membereskan kamarnya turut membantu.
"Drey, kamu mau kemana?" tanya Ayu sambil melipat pakaian Audrey yang berserakan.
"Kakak mau ikut? Aku mau jalan bareng Isabel." jawab Audrey sambil tersenyum.
"Owh. Kamu sayang banget ya sama Isabel?"
"Loh? Kakak kok tiba-tiba ngomong kaya gitu sih? Sebenernya kakak kenapa gak suka sama Isabel?"
"Kakak cuma ngerasa ada yang aneh sama Isabel. Dia kaya nutupin sesuatu dari kamu deh."
"....."
Selesai merapikan kamar Audrey, mereka segera menuruni anak tangga. Klakson mobil Isabel telah berbunyi yang menandakan bahwa Isabel telah tiba. Isabel tersenyum melihat Ayu. Ayu hanya mengacuhkannya. Audrey pun pamit dan berjalan menuju mobil Isabel. Mobil yang mereka naiki itu pun melaju meninggalkan rumah Audrey.
Di dalam mobil, Isabel terlihat tidak tenang. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Audrey yang melihat gelagat aneh Isabel merasa bingung. Tapi ia mencoba untuk tidak memikirkannya. 'Mungkin saja Isabel sedang ada sedikit masalah' batinnya.
Saat Audrey hendak menanyakan tujuan mereka, tiba-tiba Isabel menghentikan laju mobilnya. Hal itu membuat Audrey sedikit terkejut dan tubuhnya tersentak ke depan.
"Bel, kamu kenapa?" tanya Audrey.
"Drey, aku minta maaf!" ucap Isabel sambil terisak.
Air mata isabel mengalir. Audrey yang tidak mengerti semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu. Ia mencoba menenangkan Isabel, namun Isabel terus menangis tersedu-sedu. Audrey semakin khawatir.
"Bel? Kamu jangan kaya gini. Aku jadi ikut sedih."
Isabel tetap tidak menghiraukan kata-kata Audrey. Isabel mengelap mata dan pipinya menggunakan tissue. Lalu menatap mata Audrey dalam-dalam. Ia melihat wajah sahabat yang ada di hadapannya. Alis mata Audrey sedikit naik pertanda bahwa ia bingung dengan kelakuan Isabel.
"Drey, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Apa?" balas Audrey sambil mengelus rambut Isabel.
"Se-sebenarnya sejak, sejak dulu aku udah suka sama, ee... sama Da-nar."
"Bel? Kamu ngomong apa?"
Di sisi lain, Kevin sedang di taman bersama Suzan. Suzan yang memakai dress berwarna pink yang menjuntai hingga lutut terlihat sangat cantik. Ia selalu memasang senyumnya. Semakin manis.
"Suzan, kamu cantik banget saat ini..." puji Kevin.
"Haha, makasih. Tapi maksud kamu selama ini aku gak cantik, gitu?"
"Kamu cantik terus kok. Cuma hari ini terlihat beda."
Kevin memeluk Suzan. Kini Suzan sedang merasakan hangatnya dada bidang Kevin. Kevin mengelus rambut Suzan. Suzan terus tersenyum.
"Suzan, aku mau jujur."
"Jujur tentang apa?" mata Suzan menatap mata Kevin.
"Aku benar-benar sayang sama kamu. Tapi entah mengapa saat ini aku juga ngerasa aku sayang banget sama Audrey. Aku gak tau kenapa..."
Suzan mendongakkan kepalanya seakan-akan tidak percaya atas apa yang ia dengar barusan.
*****
Umi Yanti
7 April 2012
Read the rest ^,^
Kamis, 05 April 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : III
"Yu, kemarin saya sudah ngumpulin formulirnya."
"Oke.. Selamat bergabung di klub seni ya Kevin." ucap Ayu.
"Makasih."
"Oh iya. Kenalin ini Audrey, adik saya."
"Oh hai. Saya Kevin."
"Saya Audrey." Audrey tersenyum.
Mereka pun pergi ke kantin untuk sarapan bersama. Tiba-tiba handphone Kevin berbunyi. Kevin pun segera pamit pulang dan menjawab panggilan itu.
"Kevin! Kamu dimana? Katanya kita mau rayain hari jadi kita yang ke-2 tahun?! Gimana sih?" suara dari seorang gadis di handphone Kevin
"Aduh! Maaf banget Suzan. Aku jemput sekarang ya?" ucap Kevin.
"Uh! Yaudah, cepetan ya. Bye."
Kevin menarik nafas dan menghembuskannya. Ia segera pamit dengan Ayu dan Audrey. Di perjalanan Kevin terus tersenyum. Ia memang sangat menyukai kekasihnya itu, Suzan.
Di sisi lain dari kota Jakarta tersebut, Audrey sedang menjenguk Danar di rumah sakit. Ia membawa satu buket bunga mawar biru. Karena berdasarkan artikel di salah satu blog seseorang yang pernah Audrey baca, mawar biru dapat diartikan sebagai perasaan cinta yang begitu dalam terhadap seseorang seperti kesungguhan cinta Audrey pada Danar.
Audrey mencium kening Danar sambil tersenyum. Mencoba berkomunikasi dengan Danar. Lalu membisikkan satu kalimat yang amat dalam, "I LOVE YOU, Danar".
*****
2 minggu kemudian...
Di dalam sebuah restoran bintang 5 Kevin dan Suzan sedang makan malam.
"Suz, ini buat kamu."
Kevin mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna pink dari sakunya.
"Apa ini?" tanya Suzan.
"Ini hadiah buat pacar aku yang paling cantik!"
"Hahaha gombal! Makasih ya Vin!"
"Coba buka dong." pinta Kevin.
"Oke, bentar ya..."
Dengan perlahan Suzan membuka kotak kecil tersebut. Namun sebelum Suzan sempat membuka hadiah itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggil Kevin.
"Kevin!" seru orang itu.
"Audrey? Ayu?"
Kedua gadis tersebut segera mendatangi meja Kevin dan Suzan. Audrey dan Ayu tersenyum pada Suzan. Suzan membalas senyum mereka.
"Hai, kalian sedang makan malam ya?" tanya Ayu.
"Iya. Kalian?"
"Owh, kami baru aja selesai makannya. Ini kami mau pulang." jelas Audrey.
"Oh iya kenalin ini Suzan, pacar aku." Kevin memperkenalkan Suzan pada Audrey dan Ayu.
"Audrey."
"Ayu."
"Suzan."
Setelah berbincang sebentar Ayu dan Audrey pun memutuskan untuk pulang.
"Kapan-kapan kita makan bareng yah!" ucap Audrey pada Suzan.
"Iya nih, sekalian nonton bareng!" tambah Ayu.
"Hahaha, oke. Kapan-kapan kita jalan bareng ya." balas Suzan.
"Kami pulang ya."
"Hati-hati." ucap Kevin dan Suzan bersamaan.
Setelah sempat tertunda, Suzan kembali mencoba membuka hadiah kecil dari Kevin. Ketika ia melihat isinya, Suzan terkejut bercampur senang.
"Hah? Cincin?!"
"Iya, itu cincin. Sini aku pasangin ke jari kamu."
Kevin lalu memasangkan cincin berwarna silver itu ke jari manis Suzan. Lalu berkata...
"Ini tanda cinta aku ke kamu. Seseorang bilang ke aku agar membelikan sebuah hadiah tanda pengikat seperti kalung atau cincin buat gadis yang dicintai. Kamu suka kan?"
"Suka! Suka banget. Makasih ya Vin."
"Jaga baik-baik ya cincin kita."
*****
Umi Yanti
31 Maret 2012
Read the rest ^,^
Sabtu, 31 Maret 2012
Bawalah Aku ke Hatimu : II
"Ayo sadar. Buka matamu, aku mohon..." ucap seorang gadis berambut cokelat itu.
Gadis itu sedang berdiri sambil menggenggam erat tangan seorang pria yang sedang terbaring di atas tempat tidur salah satu rumah sakit di Jakarta. Matanya memerah. Kemudian ia keluar dari ruangan itu dengan meneteskan air mata.
"Bel!"
Seseorang memanggil nama gadis itu. Ia berlari menuju gadis itu.
"Bel, apa kabar?"
"Kevin, baik."
"Lama gak liat kamu, ke mana aja? Mau pulang?"
"Emm... Beberapa hari ini aku sibuk, banyak tugas. Ya udah, aku duluan ya."
"Hati-hati Isabel!"
Isabel berlalu melewati koridor. 'Danar aku akan selalu menunggumu, selalu.'
Isabel mendatangi rumah Audrey. Ayu membuka pintu dan sedikit terkejut atas kehadiran Isabel. Sejak lama Ayu memang kurang menyukai Isabel. Namun bagaimana pun persahabatan Audrey dan Isabel terus berjalan. Audrey menganggap sikap Ayu adalah hal yang wajar. Di dunia ini tentunya tidak semua orang menyukai hal yang sama, begitu pun dengan Ayu.
Isabel menaiki tangga, berjalan menuju kamar Audrey. Audrey yang sedang membaca novel merasa sangat senang dengan kehadiran Isabel. Ia langsung memeluk sahabatnya itu.
"Bel! Lama banget kita gak ketemu. Aku kangen sama kamu." ucap Audrey.
"Iya, aku juga. Kamu tau kan, aku sedang banyak tugas. Aku pusing nih." keluh Isabel.
"Hemm, gimana kalo besok kita nonton." ajak Audrey.
"Wah boleh juga!" Isabel menyetujui.
Mereka pun mengobrol. Melepas kerinduan. Mereka saling mengenal sejak kelas 2 SMA. Sudah 5 tahun persahabatan mereka terjalin. Isabel sangat mengenal Audrey. Mulai dari kecelakaan orang tua Audrey, Ayu yang selalu ada untuk Audrey, hingga hubungan antara Audrey dan Danar. Begitu pun Audrey. Ia mengenal baik sahabatnya itu. Namun sayang ada satu hal yang tidak di ketahui Audrey.
Jam telah menunjukkan pukul 16:40. Isabel pamit kepada Ayu. Audrey mengantar Isabel hingga pagar. Isabel mengeluarkan kunci mobilnya. Sesaat kemudian mobil kuning ber-plat B 154 BEL itu pun melaju.
*****
Di sore yang sedang turun hujan 3 tahun yang lalu, tepatnya di hari kelulusan SMA.
Sosok gadis manis dengan rambut panjang dengan model ponytail sedang menunggu seseorang di bawah pohon besar. Ia masih memakai seragam sekolahnya. Tubuhnya mulai basah kuyup. Lalu datanglah lelaki tinggi berkulit cokelat. Lelaki itu mendekati si gadis.
"Bel." sapa lelaki itu.
"Da-nar." gadis itu menggigil.
Danar memasangkan jaketnya ke tubuh Isabel.
"Kamu mau ngomong apa? Sekarang kan lagi ujan. Ntar kamu sakit." Danar khawatir.
"Gak kok, aku baik-baik aja. Ada hal penting yang mau aku omongin."
"Soal apa?" tanya Danar.
"Sebenarnya sejak setahun yang lalu, aku... aku..."
"Kenapa?" Danar penasaran.
"Aku suka sama kamu, Danar." bibir Isabel bergetar karena kedinginan dan gugup.
"Bel?"
Danar membalikkan badannya. Ia memegang kepalanya. Terasa sedikit sakit. Untuk sesaat keduanya terdiam. Lalu Danar pun membalikkan badannya lagi dan menghadap Isabel. Kedua tangannya memegang bahu Isabel.
"Bel, kamu kedinginan. Kita pulang ya, aku antar." ajak Danar.
"Nggak, aku belum mau pulang. Aku mau nungguin jawaban kamu."
"Nanti aja. Kita pulang dulu. Nanti kamu sakit." Danar semakin mencemaskan Isabel.
"Nggak!" Isabel bersikeras.
"Baiklah. Aku jawab."
Danar menggosokkan kedua tangannya untuk menghilangkan kegugupannya.
"Bel, aku sebenarnya sayang banget sama kamu. Sejak kita kelas satu, aku udah suka sama kamu. Kelas dua pun aku masih menyimpan rasa itu. Tapi aku gak punya kesempatan untuk ungkapinnya. Tapi sejak aku kenal sama Audrey semuanya berubah. Aku mulai suka sama Audrey. Audrey pun juga suka sama aku. Dan aku tau, kamu sahabat Audrey kan? Besok aku akan nyatain cinta ke dia. Jadi, maafin aku Bel..." ungkap Danar.
Isabel menahan tangis. Ia mencoba tersenyum.
Danar meraih tangan kanan Isabel. Dan mengajaknya pulang. Audrey masih terpaku. Mereka menaiki mobil. Danar melajukan mobilnya di bawah guyuran hujan. Air mata Isabel menetes. Tidak ada suara. Hening. Hanya terdengar suara hujan yang mengiringi tangisan Isabel. Keduanya terdiam.
"Bel, maafin aku."
"Aku terlambat ya?" tanya Isabel sambil memaksakan senyumnya.
"Bel.."
"Seandainya sejak setahun yang lalu aku bilang ini ke kamu, mungkin hasilnya gak kayak gini."
"Maaf Bel."
Beberapa menit kemudian mereka telah sampai di rumah Isabel. Isabel melepaskan jaket Danar. Ia menyerahkannya kepada Danar. Namun Danar menolak, ia menyuruh Isabel menyimpannya. Saat akan turun dari mobil, Isabel mengecup pipi kiri Danar.
"Aku akan selalu menunggumu, Danar." ucap Isabel dengan senyum yang yakin.
*****
Umi Yanti
31 Maret 2012
Read the rest ^,^