Senin, 09 Januari 2012

Saat Aku Terbangun Dari Tidurku : VII

Aku mengganti baju dan mengeringkan rambut. Aku duduk di dekat jendela. Memandangi langit yang mulai cerah. Rintik-rintik hujan yang akan segera reda mengingatkanku pada Vily. Seandainya ia tahu yang sebenarnya...

Saat itu aku sedang berjalan menuju perpustakaan. Melewati lapangan basket. Namun langkahku berhenti saat ku lihat ada sosok gadis yang sedang duduk di kursi, kursi panjang yang berada di pinggir lapangan basket. Aku mendekatinya. Aku duduk di sampingnya. Anehnya ia tidak menyadari kedatanganku, sama sekali. Aku terus memperhatikan wajahnya. Ia menutup matanya. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berada di dunia yang berbeda, mungkin dunia khayal, aku tidak tahu pasti.

Sudah 10 menit aku di sampingnya. Aku tertarik padanya. Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang tidak menyadari kehadiran seorang pria selama ini, apalagi ia sedang berada di tempat yang ramai. Apa yang ada di pikirannya?

Sejak saat itu, aku yakin, sangat yakin, dan benar-benar yakin bahwa aku menyukainya. Aku tulus menyukainya. Namun beberapa minggu berlalu, Ayahku memutuskan untuk menjodohkanku dengan putri temannya. Aku tidak bisa menolak. Dan aku tahu itu artinya aku tidak akan bisa memiliki Vily. Selamanya.

2 minggu lagi aku akan bertunangan. Cepat atau lambat hubunganku dengan Vily akan semakin merenggang. Akan semakin menjauh walaupun aku tak mau. Aku ingin selalu berada di sisinya namun aku tak bisa. Maafkan aku Vily, aku sangat menyayangimu dan kau akan terus ada di dalam hatiku. Selamat tinggal.
*****

3 minggu kemudian...

"Hei! Hei! Apa yang kalian lakukan di rumahku?! Kalian tidak bisa melakukan ini!"
"Maafkan kami nyonya, tapi kami harus melakukan ini."
"Berhenti! Aku bilang berhenti! Aku mohon..."

Suara berisik apa itu? Sepertinya ada yang tidak beres. Aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Suara ribut itu nampaknya berasal dari sana. Ada 4 pria bertubuh besar di sana. Dan juga Ibu. Ibu sedang menangis di lantai.

"Ibu, apa yang terjadi?" namun ia terus menangis.

Aku mendekati pria-pria itu.

"Apa yang sedang kalian lakukan?"
"Maaf nona, kami hanya menjalankan perintah."
"Apa maksud kalian? Aku tak mengerti!"
"Kami harus mengangkut benda-benda yang ada di dalam rumah Anda."
"Apa?! Bagaimana bisa kalian melakukan ini?!"
"Ini, silahkan di baca. Kami harus pergi, permisi."

Aku memegang selembar surat. Aku membacanya. Kami harus meninggalkan rumah ini dan mereka hanya memberi waktu 4 hari. Aku menyerahkan surat itu kepada Ibu agar ia bisa membacanya.

Matanya dipenuhi air mata. Ia mengambil surat itu dan membacanya. Sesaat kemudian matanya terbelalak. Ia menatapku tidak percaya. Aku memeluknya. Ia kembali menangis di pelukanku. Aku pun ikut menangis. Aku tidak menyangka semua ini akan menimpa kami. Sekuat apa pun aku memeluk Ibu, aku tetap tidak merasakan apa-apa. Kehangatan maupun ketenangan. Hanya pelukan biasa.

"Ibu, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku pada Ibu sambil menahan tangis.

Tiba-tiba Ibu melepaskan pelukannya dan mendorongku agar aku menjauh darinya.

"Apa yang harus kita lakukan?! Hahahaha... Terserah apa yang akan kau lakukan. Aku tidak peduli denganmu!"
"A-apa maksud Ibu?"
"Jangan panggil aku Ibu, karena aku bukan Ibumu!"
"I-ibu..."
"Sudah kukatakan! Jangan panggil aku Ibu!"

Lalu Ibu berlari menaiki anak tangga. Kurasa ia menuju kamarnya. Apa yang akan ia lakukan? Aku masih belum bisa percaya apa yang di katakan Ibu tadi. Aku mengejarnya, kakiku terasa berat. Aku melihat Ibu memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Oh tidak! Apa yang sedang ia pikirkan? Apakah ia akan meninggalkanku seperti Abram, Ayah, dan Erlan? Tidak! Aku tidak bisa! Aku harus menghentikannya.

Aku memegang tangannya, namun ia menghempas tanganku.

"Ibu, kumohon hentikan. Jangan tinggalkan aku." aku memohon padanya.
"Diam kau! Aku ingin pergi dari sini! aku tidak ingin hidup menderita!"
"Tidak Bu, kita tidak akan menderita. Semua ini akan baik-baik saja."
"Aku tidak peduli apa yang kau katakan! Dan aku tidak menyayangimu, jadi jangan berharap aku akan bersamamu melewati semua ini!"
"Ibu... Aku mohon..."

Tidak! Tidak akan kubiarkan ia pergi! Ibu menuruni anak tangga, aku mengikutinya. Ketika ia akan keluar aku meraih tangannya. Dan lagi-lagi ia ingin menghempas tanganku, namun kali ini ia tidak berhasil. Aku memegang erat pergelangan tangan kirinya. Wajahnya sekarang menakutkan, tapi aku akan terus bertahan.

"Ibu, jangan meninggalkanku. Tidak apa jika kau tidak menyayangiku, tapi aku mohon teruslah bersamaku. Aku membutuhkanmu. Hanyalah kau yang kumiliki saat ini."
"Diamlah! Apa kau masih tidak mengerti?! Kau tahu? Aku masih cukup muda untuk bisa mendapatkan seorang suami yang baru. Jika aku tetap bertahan di sini, apa yang akan ku dapatkan nanti? Bukankah restoran ayahmu sudah bangkrut? Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku harus menunggu sampai kehidupan kita akan seperti dulu? Hahaha... Jangan mengkhayal! Kau tahu kan itu bukanlah hal yang mudah! Dan aku tidak mau membuang waktuku untuk itu!"
"Ibu, karena aku tahu itu adalah hal yang sulit, makanya aku ingin kau bersamaku agar aku bisa menjadikan ini lebih mudah. Aku berjanji kehidupan kita akan seperti dulu."
"Omong kosong! Dulu ayahmu juga berjanji padaku bahwa aku akan hidup dengan nyaman selamanya, tapi kenyataannya apa? Dia meninggalkanku! Kau tahu betapa aku mencintai ayahmu? Tapi ia meninggalkanku! Jadi untuk apa aku terus bersama anaknya yang tidak berguna sepertimu?! Apa yang bisa kau lakukan he?!"

Tanganku sudah tidak kuat lagi untuk menahan Ibuku. Aku melepakan tanganku. Ibu berlalu meninggalkanku. Ia tidak menoleh sedikitpun padaku. Aku tidak menyangka ia akan setega ini padaku. Kakiku lemas. Aku terjatuh. Benar kata Ibu... Apa yang bisa aku lakukan sekarang?
*****

To Be Continued . . .


Umi Yanti
8 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar