Sabtu, 07 Januari 2012

Saat Aku Terbangun Dari Tidurku : VI

Aku perlahan mendekatinya dan berharap bisa mengejutkannya. Tapi tidak seperti dugaanku...
"Erlan!" tubuh gadis itu tiba-tiba berbalik dan mengagetkanku.
"Vi-vily!" jawabku terbata-bata. "Jadi apa yang ingin kau katakan? Apakah itu sangat penting?"
"Tentu saja! Mana mungkin tidak penting! Bukankah SMS-ku tadi menunjukkan bahwa ada hal penting?!"
"Namun, kau selalu seperti itu kan jika ingin bertemu denganku."
"Kau ini!"
"Hahaha..."

Wajah manisnya itu sekarang berubah ekspresi. Ia cemberut oleh candaku. Aku penasaran dan ingin segera tahu kejutan apa lagi yang akan dia berikan. Aku menganggap semua yang ia lakukan adalah sebuah kejutan, karena ia sering melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Aku terus menunggu. Ia kemudian duduk di kursi yang ada di pinggir lapangan basket. Membeku dan tersenyum. Matanya mengarah padaku dan memberikan isyarat agar aku duduk di sampingnya.
*****

Matanya menatap heran. Aku membiarkan itu berlarut sedikit lama. Aku sedang menyiapkan mentalku.
"Erlan, apakah aku boleh mengatakan sesuatu padamu?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Tentu. Apa itu?"
"Sudah beberapa bulan ini kita selalu tertawa, bercanda, bergembira, bahkan bersedih pun sudah kita alami bersama. Semua hal itu membuat kita menjadi dekat. Persahabatan kita ini tentu menimbulkan perasaan sayang satu sama lain. Bisakah kau melanjutkan kata-kataku?"

Keadaan hening sebentar. Belum ada kata-katapun yang keluar dari mulutnya. Bibir Erlan mulai terbuka.

"Persahabatan kita memang masih belum terlalu lama, bisa di hitung dengan jari. Namun aku merasa kita sudah saling mengenal dengan sangat baik. Aku selalu merasa nyaman ketika bersamamu, tentunya kau juga merasakan hal yang sama kan? Lalu?"
"Lalu, bolehkah aku mengubah persahabatan kita ini? Karena sekarang perasaanku juga telah berubah."
"Maksudmu?"
"Erlan, kau tahu apa maksudku. Aku menyukaimu. Sejak lama. Bahkan sebelum kita dekat.... Aku menyukaimu Erlan!"
"Vily?"
"Ya, aku tahu tak seharusnya aku seperti ini. Tapi bukan salahku jika aku menyukaimu... Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Kau juga tahu, aku sangat sulit melupakan Abram ketika ia meninggalkanku ke New Jersey. Namun kau tiba-tiba datang menggantikan Abram yang pergi. Erlan, maukah kau memberikanku sebuah kesempatan?"
"Kesempatan? Tidak Vily. Aku tidak bisa..."

Kami saling menundukkan kepala. Aku tidak berani menatapnya. Aku mengarahkan mataku ke lapangan basket yang ada di depan hadapanku. Aku merasa harapanku pupus. Aku mencoba bertahan.

"Mengapa kau tidak bisa memberiku kesempatan?"
"Aku bukanlah anak kandung orang tuaku. Mereka mengadopsiku ketika aku berumur 4 tahun. Mereka sangat baik padaku. Aku menyayangi mereka dan berhutang budi. Jika bukan karena mereka, aku tidak mungkin bisa hidup bahagia dan berkecukupan seperti ini, dan mungkin sekarang aku telah menjadi gelandangan. Oleh karena itu, ketika Ayah ingin menjodohkanku dengan putri temannya, aku langsung menyetujuinya. Mana mungkin aku tega mengecewakan mereka. Aku akan melakukan apa pun yang mereka inginkan."

Aku terkejut dengan jawaban yang tidak kuduga. Dadaku terasa sesak. Aku menggenggam erat kalung pemberian Abram. Perasaan ini terasa lebih sakit. Melebihi rasa sakit ketika Abram meninggalkanku. Aku tahu, sudah saatnya aku melepaskan kesedihanku, aku tidak bisa menahan air mata ini lebih lama lagi.

"Vily, maafkan aku."

Aku tidak bisa menjawab Abram. Lidahku terasa berat. Aku tidak sanggup mengeluarkan kata-kata apa pun. Abram memelukku. Posisi tubuhku tidak berubah sedikit pun, aku masih memegang erat kalung pemberian Abram dengan kedua tanganku.

Untuk kedua kalinya aku di tolak 2 pria yang kusukai. Pria yang sangat dekat denganku. Mereka yang kuanggap memiliki perasaan lebih terhadapku, namun aku salah. Tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi. Aku tak tahu apa itu. Aku hanya merasa mereka sedang membohongi perasaan mereka sendiri. Entahlah! Aku benar-benar tidak ingin berharap lebih, mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada mereka sudah lebih dari cukup. Apakah Erlan akan meninggalkanku? Sama seperti Abram yang meninggalkanku...

Titik-titik air yang turun dari langit mulai berjatuhan. Mengaburkan air mataku. Kami berpelukan di bawah guyuran hujan. Entah berapa lama kami seperti itu. Kami hanya diam. Meskipun hujan sangat deras, aku merasa pelukan Erlan menghangatkan tubuhku.
*****

To Be Continued . . .


Umi Yanti
7 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar