Kamis, 11 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VIII

Kania tampak tidak berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang diberikan oleh dosennya. Ia merasa ingin segera keluar dari kelas. Ketika dia memutar kepalanya ke luar melalui pintu kelas yang terbuka, ia melihat Dava sedang berjalan. Mata mereka bertemu. Dava berhenti dan memandang lekat wajah Kania dari luar sana. Dava akhirnya menunggu Kania di depan kelasnya.

1 jam berlalu, dosen pun keluar dari kelas Kania. Kania segera menghampiri Dava yang telah menunggunya sedari tadi. "Kita harus bicara." ucap Dava.

Keduanya pun berjalan menuju taman yang berada di dekat perpustakaan. Lalu duduk di bangku hijau yang ada di sana. Dava memetik setangkai mawar merah. Ia meletakkannya di atas telapak tangan Kania. Kania mengerutkan dahi.

"Lo tau, mawar ini cantik banget. Satu hal yang tidak kita sadari, ketika dipetik dari batangnya mawar ini kesakitan dan menganggap perbuatan kita kejam tapi mawar ini tetap terlihat cantik. Namun, lama-kelamaan mawar ini akan layu dan mati."

Kania menatap Dava sambil memegang mawar digenggamannya.

Dava melanjutkan, "Gue berharap lo ga kaya mawar ini. Meskipun lo bakalan dipisahkan dari gue, lo harus tetap jalani hidup lo dengan senyum dan semangat. Gue ga mau lo cuma bertahan sebentar terus layu kaya mawar ini, gue harap lo akan terus bertahan selamanya. Akan tetap secantik mawar ini sebelum ia dipetik."
"Oke, gue akan bertahan. terus lo gimana?" tanya Kania sedih.
"Gue juga akan bertahan. Karna gue akan selalu jagain lo. Gue akan selalu ada buat lo."
"Mana mungkin!"
"Gue akan berusaha. Gue janji. Jujur, gue sayang banget sama lo, Kania."
"Kita lihat aja nanti, gue pegang janji lo, Dava." Kania pun meninggalkan Dava.

Cuaca sedang bersahabat. Ia seakan mengerti dengan perasaan Kania. Saat ini jam telah menunjukkan pukul 3 sore. Kania menikmati hembusan angin yang menerbangkan rambutnya. Ia berdiri di balkon kamarnya. Balkon yang tepat menghadap ke arah rumah Dava, lebih tepatnya kamar Dava. Ia memandang lurus dan tidak terlihat siapapun di jung sana.

Mama Kania telah menceritakan hasil dari pertemuannya dengan Mama Dava. Sama halnya dengan sang Mama, Kania juga tak mengerti dengan tingkah Mama Dava. Setelah merasa puas melepaskan penat di balkon itu, tiba-tiba pintu kamar Dava terbuka. Keluarlah sosok pria beralis tebal yang sekarang sedang berdiri di balkon kamar yang berseberangan dengan Kania. Mereka memandang satu sama lain.
******

"Eh, alis tebal! Anterin gue ke rumah temen gue dong." pinta Kania saat melihat Dava yang melintas di depan rumahnya.
"Maaf banget Kania. Gue ga bisa. Bentar lagi gue dan orangtua gue mau makan siang sama Ratu dan Papanya." ungkap Dava.
Kania tampak sedikit kecewa. "Hem, ya udah gapapa. Gue bisa sendiri kok. Oh ya, have fun ya!"

Tidak terasa satu bulan telah berlalu sejak perjodohan Dava dan Kania dibatalkan. Saat ini Dava sedang dekat dengan Ratu. Dava dan Kania pun masih berhubungan baik. Bahkan sesuai dengan ucapannya, Mama Dava tidak pernah berusaha untuk menjauhkan Kania dan Dava. Mama Dava tetap menyayangi dan menganggap Kania sebagai anaknya sendiri. Dan satu hal yang tak kalah penting, baik Dava maupun Kania masih saling menyayangi. Perasaan mereka tak berkurang sedikit pun, malah semakin kuat.

"Ma..." kata Papa Dava pada istrinya.
"Iya, Pa. Kenapa?" balas Mama Dava sambil mengoleskan make up-nya.
"Sebenernya Papa masih belum yakin dengan alasan Mama batalin perjodohan Dava dan Kania."
"Mama kan sudah jelasin ke Papa. Ini untuk kebaikan Dava dan Kania."
"Tapi, Ma, kita kan belum membuktikan semuanya." ucap Papa Dava penuh kesabaran.
"Sudahlah, Pa. Kita ga usah membahas ini lagi. Papa liat sendiri kan, semuanya berjalan dengan lancar. Dava dan Kania baik-baik saja kok."
"Ma, kita ga pernah tahu isi hati orang lain. Bisa saja apa yang terlihat di luar berbeda dengan yang di dalam."
"Ayo Pa kita pergi. Kasian Ratu dan Papanya pasti sudah nungguin kita." ajak Mama Dava tak memperdulikan perkataan suaminya.

Di sebuah meja makan bundar yang dibalut taplak meja berwarna putih-ungu itu duduklah Dava, Ratu dan orangtua mereka. Makanan dan minuman telah dipesan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang. Keakraban jelas terlihat di antara orangtua Dava dan Papa Ratu. Namun, Dava dan Ratu masih kaku seperti saat awal mereka bertemu. Ratu selalu mengajak Dava mengobrol dan Dava selalu menjawabnya singkat.

"Halo, Ly gue ke rumah lo ya." ucap Kania di telepon.
"Oke, kebetulan gue lagi sendirian. Asyik deh ada yang temenin gue." seru Lily.
"Kalo gitu gue sekarang jalan ya. Jangan lupa siapin cemilan!"
"Iya, iya. Ntar gue beli yang banyak hahaha"
"Hahaha Gitu dong! Ya udah, gue berangkat, bye."
"Sip, bye." telepon pun ditutup.

Kania mengambil kunci mobil yang berada di atas meja kecil di ruang tivi. Tak lama kemudian mobil berwarna biru muda itu pun meluncur mulus di jalanan sepi itu. Kania menghidupkan radio dan kebetulan sekali sebuah lagu yang mengingatkan kenangannya bersama Dava sedang mengalun.

It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall
I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in love
Somewhere I'd never thought I'd be

Lagu slow yang dinyanyikan oleh Craig David itu berhasil membuat ia merindukan sosok pria yang sudah lebih dari 5 tahun selalu bersamanya itu. Entah apa yang ia rasakan kini, sejak hari itu memang semuanya tidak berubah. Namun, Kania merasa ada yang kurang, bukan, aneh tepatnya.

Kania telah tiba di rumah Lily. Ia memarkirkan mobil mungilnya di halaman rumah itu. Kania langsung disambut oleh pelukan hangat Lily yang telah menantinya.

"Kaniaaa, Gue seneng banget lo ke sini! Jarang-jarang kan lo main ke sini!" teriak Lily ketika mereka baru saja duduk di kursi santai pinggir kolam yang berada di halaman belakang rumah Lily.
"Berarti lo beruntung dong Ly!" canda Kania.
"Dasar! Eh, by the way lo mau cerita apa? Gue udah penasaran!"
"Ha? Apaan sih? Baru juga duduk, lo udah nanya gue mau cerita apa."
"Ah, gue tau kali. Lo ke sini pasti mau cerita dan itu pasti tentang Dava!" tebak Lily.

Kania hanya tersenyum kecil. Pikirannya menerawang. Sebetulnya, ia sudah tidak sabar lagi hendak mencurahkan perasaannya. Namun, Kania berusaha untuk mengontrol perasaannya. Ia ingin meluapkan apa yang ia rasakan dengan tenang.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
11 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar