Sabtu, 06 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VI

Selang beberapa saat Kania tersadar bahwa saat ini mereka sedang melalui jalan yang bukan mengarah ke rumahnya. Kania berhenti menangis. Ia menghapus air matanya. Melepas pelukannya.

"Dava, kita mau ke mana? Ini kan bukan jalan ke rumah."

Tapi Dava ak membalas ucapan Kania.

Matahari sudah tidak terlalu terik lagi. Angin mulai membelai sisa rambut Kania yang tidak masuk ke dalam helm. Kania hanya menatap jalanan di sekitarnya. Ia mulai menyadari sesuatu.

"Nah, ayo turun." ucap Dava kemudian.
"Ngapain lu ngajak gue ke sini? Gue mau pulang!"
"Sini." ajak Dava sambil menarik pergelangan tangan Kania.

Saat ini mereka sudah berada di bibir pantai. Keduanya berdiri menghadap ombak pantai yang sedang menari-nari. Kania menghela napas panjang. Mencoba menikmati suasana pantai yang indah ini. Menghirup udara segar. Lalu Dava memegang kedua pundak Kania sehingga posisi mereka berhadapan. Dava menurunkan tangannya secara perlahan sambil menelusuri tangan Kania. Kemudian berhenti tapat di telapak tangan Kania dan menggenggamnya erat.

"Gue bodoh." ucap Dava sambil menunduk.

Kania hanya mengernyitkan dahinya.

"Gue keterlaluan sudah membuat seseorang nangis gara-gara gue. Dan parahnya ternyata gue baru sadar kalo gue sayang sama dia. Dia yang selalu ada di samping gue. Dia yang tidak sempurna tapi mampu membuat hidup gue terasa sempurna." lanjut Dava masih menunduk.
"Maksudnya Ratu?" tanya Kania menahan rasa sakit di dadanya yang tiba-tiba muncul.
"Bahkan orang itu ga sadar kalo dia yang gue maksud. Dia itu adalah lo, Kania. Tetangga gue, teman gue sejak kecil. Lo." ujar Dava sambil mendongakkan kepalanya.

Kania terkejut. Mata mereka beradu. Mata Kania berubah sendu. Kania melepaskan genggaman Dava.

"Gue terlambat ya?" tanya Dava.
"Ga pernah ada kata terlambat jika itu menyangkut masalah hati. Gue juga baru sadar kalo lo lebih dari sekedar si alis tebal yang nyebelin." senyum Kania mengembang.

Dava menarik badan Kania ke dalam pelukannya. Dava membelai lembut rambut Kania, mengusap punggungnya, dan mencium keningnya. Kania tertawa bahagia. Dava menyapu air mata Kania. Kania pun mengelus pipi kiri Dava. Mereka tertawa.

Matahari hampir tenggelam. Saat hendak meninggalkan pantai tiba-tiba Kania bertanya,
"Kenapa lo bawa gue ke pantai ini?"
"Karna pantai ini pernah dan akan menjadi tempat kenangan kita."
"Pernah? Akan?" tanya Kania tak mengerti.
"Dulu orangtua kita menjodohkan kita di sini. Dan tadi gue berpikir akan ungkapin perasaan gue ke lo di sini karna gue tau lo pasti akan nerima gue. Dan sekarang terbukti." ucap Dava percaya diri.
"Ah, gila! Pe-de banget lo! Siapa yang terima lo?" ledek Kania.
"Loh? Gue kira tadi itu lo nerima gue." Dava melangkah cepat menginggalkan Kania.

Kania mengejar Dava sambil tertawa akibat tingkah Dava yang menurutnya seperti anak kecil. Kania memeluk Dava dari belakang.

"Kok ngambek sih? Gue cuma bercanda kok." Kania mencium punggung Dava.
Dava membalikkan badannya. "Dasar Kania yang gemesin!"

Dava mencubit pelan hidung mancung Kania. Lalu Ia mencium pipi kanan Kania. Kania hanya tersipu malu sambil menatap dalam kedua mata Dava.
******

Malamnya Dava pamit kepada Mamanya untuk mengajak Kania jalan-jalan. Saat ini Papa Dava sedang keluar kota. Bisnis yang ia lakukan mengharuskannya meninggalkan keluarganya hingga 2 minggu ke depan.

"Sayang, pulangnya jangan terlalu malam ya. Jagain Kania." Pesan Mama Dava.

Dava menjemput Kania. Ternyata Mama Kania belum pulang ke rumah karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Dava mengajak Kania ke toko hewan yang berada di dekat taman kota. Ketika memasuki toko itu Kania terlihat takjub. Ada banyak jenis kucing, kelinci, dan anjing di sana. Saat ini toko sedang sepi dan biasanya akan ramai pada pagi dan siang hari. Pemilik toko itu pun terlihat ramah.

Kania berjalan perlahan sambil memperhatikan hewan-hewan yang ada di dalam kandang itu. Lalu ia berhenti tepat di depan salah satu kandang kucing. Ia membungkukkan badannya untuk melihat kucing itu.

"Kucing itu namanya Russian Blue." ucap Dava dari belakang.

Kania menoleh pada Dava dan kembali memperhatikan kucing bermata hijau itu. Dava ikut membungkukkan badannya.

"Russian blue ini terkenal cerdas, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan tenang. Dia juga cenderung pemalu terhadap orang asing. Tapi kucing ini sangat setia pada tuannya. Oleh karena itu, menurut gue Russian blue cocok banget dijadikan peliharaan." terang Dava.
"Waah, ternyata lo tau banyak ya tentang kucing ini." puji Kania.
"Hehe, ga juga sih. Eh, lo mau kucing ini?"
"Mau sih, tapi Mama kan alergi sama kucing. Lagian gue juga kayanya ga bisa ngerawat nih kucing, takutnya nanti ga keurus."

Mereka pun melanjutkan untuk melihat hewan-hewan yang lain. Setelah puas melihat-lihat mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran bintang lima. Jam tangan Dava telah menunjukkan pukul 9 malam.

"Udah jam 9 nih. Kita pulang yuk." ajak Dava.
"Oke. Bentar, gue abisin dulu minumannya."

Dava pun memanggil waitress lalu membayar bill. Kania menggandeng tangan Dava lalu berjalan keluar.

Mama Kania telah tiba di rumah. Ia terlihat kelelahan. Ia duduk di atas sofa lalu meletakkan tasnya di atas meja. Mama Dava melihat mobil telah terparkir di halaman rumah Kania. 'Mama Kania sudah pulang' batinnya. Lalu Ia berjalan keluar rumah hendak menemui Mama Kania.

Sesampainya di rumah Kania, Mama Dava langsung mengetuk pintu.

"Mbak. Mbak." panggil Mama Dava.

Namun tidak ada jawaban. Mama Dava mulai khawatir. Mengapa tak ada jawaban? Tak mungkin Mama Kania sudah tidur, lampu ruang tamu saja masih terlihat menyala. Mama Dava memegang gagang pintu ternyata tidak terkunci.

"Ya ampun, Mbak!" jerit Mama Dava melihat keadaan Mama Kania.

Ia segera merangkul dan membopong badan Mama Kania ke kamar. Wajah Mama Kania terlihat pucat sekali. Mama Kania pun ditidurkan di atas kasurnya. Mama Dava pergi ke dapur. Mama Dava kembali ke kamar itu sambil membawa secangkir teh hangat dan meminumkannya pada Mama Kania.

Lambat laun kondisi Mama Kania mulai membaik. Wajahnya tak sepucat beberapa menit yang lalu. Keduanya tersenyum.

"Mbak, kok bisa sih seperti ini?" Mama Dava terlihat khawatir.
"Sepertinya saya kelelahan. Maaf ya sudah bikin repot."
"Ah, gapapa kok."

Saat sedang melemparkan pandangan ke sekeliling kamar Mama Kania, ia menemukan foto keluarga Kania yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur Mama Kania. Ia kemudian mengangkatnya untuk melihat lebih jelas. Di foto itu ada Kania, Mamanya, dan Papanya. Saat memperhatikan wajah Papa Kania, Mama Dava nampak terkejut. Tiba-tiba air mata Mama Dava menetes. Lalu ia pergi dari kamar itu tanpa pamit.

"Mbak? Kenapa?" teriak Mama Kania melihat kepergian sahabatnya itu.

Mama Dava tak menghiraukan panggilan Mama Kania. Ia berlari dan kembali ke rumahnya. Kemudian masuk ke dalam kamarnya. Tangisnya pun semakin jadi. Bahkan ia merasa tak kuat lagi untuk melangkah sehingga ia terduduk di balik pintu kamarnya. Ia menyenderkan tubuhnya di pintu itu.

"Mas Surya..." ucap wanita paruh baya itu sambil terisak.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
6 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar