Minggu, 28 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : X

Cahaya senja masuk dengan leluasa ke dalam kamar Dava melalui jendela-jendela bening nan besar. Dava mengambil handphone dari saku celananya. Lalu mengirimkan pesan kepada gadis yang selalu hadir di pikirannya.

To : Cewek Kacang
“Kalo lo udah pulang, cepetan ke balkon kamar lo, gue tunggu. Sekarang.”

Selesai mengirimkan pesan singkat itu Dava segera berjalan ke arah balkon kamarnya. Ia berdiri di pinggir balkon itu yang dibatasi oleh pagar hitam setinggi perutnya.

“Itulah mengapa Mama batalin perjodohan Dava dan Kania. Mama ga mau mereka akan terluka lebih dalam.”

Mama Dava telah menceritakan semuanya kepada suami yang telah ia kenal lebih dari 20 tahun itu. Air mata menetes di pipinya. Tidak mudah untuk mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Sebagai seorang Ibu, Mama Dava hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk anaknya.

“Harusnya dari dulu Mama cerita. Sebagai suami-istri kita seharusnya berbagi, Papa ga tega lihat Mama menanggung kesedihan ini sendirian. Mama harus ingat, Papa akan selalu ada buat Mama. Tapi, menurut Papa sebaiknya kita cari tahu semuanya biar lebih jelas.” Kata Papa Dava sambil menenangkan istrinya itu.
“Maafin Mama, Pa. Tapi kayanya kita ga usah ngelakuin apa pun. Semuanya terlalu aneh jika dianggap suatu kebetulan. Sekarang Mama cuma ingin mereka bahagia.”

Papa Dava meraih tubuh Mama Dava. Memeluknya erat.
“Meskipun Papa adalah Papa tirinya Dava, tapi Papa sangat sayang sama Dava. Dava sudah menjadi separuh hidup Papa dan kebahagiaan Dava adalah yang utama bagi Papa.” ucap Papa Dava yang membuat tangis istrinya itu pecah.

Butiran bening itu jatuh dan membasahi kemeja Papa Dava. Kenyamananlah yang Mama Dava rasakan dalam pelukan hangat suaminya itu. Papa Dava melepaskan pelukannya. Ia menatap dalam mata istrinya. Dihapusnya air mata yang telah membuat mata istrinya itu sembab. Lalu kecupan sayang ia luncurkan ke kening wanita berparas ayu itu.

10 menit telah Dava habiskan untuk menanti Kania. Akhirnya gadis bermata cokelat itu muncul dari balik pintu. Ia berdiri di pinggir balkon sama halnya dengan Dava. Senyuman manis pun ia berikan pada lelaki yang ia cintai itu. Dava menelepon Kania melalui handphone yang ia genggam sedari tadi. Dengan cepat Kania mengangkat telepon itu. Dava memulai.

“Halo Kania. Dari mana lo?”
“Dari rumah Lily. Ngapain lo nyuruh gue ke balkon? Pake acara telpon-telponan pula kan kita bisa ngomong langsung. Dasar aneh!” cerocos Kania.
“Aduh, satu-satu napa? Lo itu ya! Eh, gue mau ngomong nih.”
“Ya ngomong aja. Kayanya serius banget.” Dava menarik napas panjang.
“Gue pernah liat iklan di tivi, katanya minyak dan air itu ga bisa bersatu. Lo tau kenapa? Karena mereka berbeda. Tapi meski berbeda, mereka masih bisa berdampingan. Gue harap kita bisa seperti minyak dan air. Kita sama-sama tau kan, saat ini keadaan memaksa kita untuk ga bisa bersatu.”
“Gue ga mau seperti minyak dan air. Karena selamanya minyak dan air ga akan pernah bisa bersatu.” Mata Kania mulai berkaca-kaca menatap Dava dari kejauhan.
“Yaudah kalo gitu kita jangan seperti mereka. Kita cari cara supaya bisa sama-sama. Tapi sebenernya ada hal yang jauh lebih penting yang mau gue kasih tau sama lo.”
“Apaan?”
“Tadi Mama nyuruh gue tunangan sama Ratu. Gue ga tau ada angin apa tiba-tiba Mama ngomong itu ke gue.” ungkap Dava.
“Tunangan sama Ratu? “ tanya Kania terkejut.
“Iya...”
“Kenapa jadi kaya gini sih, Dav? Gue ga ngerti sama Tante. Kenapa Tante ngelakuin ini semua? Kasih tau gue, apa yang harus gue lakuin, Dava.”
“Kania, dalam hidup ini Tuhan adalah sutradara dan kita adalah pemainnya. Jadi kita jalani aja skenario yang udah Tuhan kasih untuk kita. Percaya deh, kita pasti akan bahagia karena kita memang pantas bahagia.”
“Tapi kapan?” suara Kania melemah.
“Gue ga tau kapan. Tapi yang jelas hingga sekarang gue masih sayang sama lo, sayang banget.” ucap Dava memberikan penekanan pada kata sayang.
“Gue juga sayang banget sama lo, Dava.”
******

Dava telah berpakaian rapih dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dan celana jins kesayangannya. Ia mengambil ransel yang berada di kursi lalu berjalan keluar kamarnya.

“Dava, sarapan dulu sayang.” teriak Mamanya usai Dava menuruni tangga.
“Ga usah, ma. Dava sarapan di kampus aja.” jawab Dava dingin.

Papa Dava yang sedang makan nasi goreng di meja makan menoleh pada istrinya yang sedang mengoleskan selai pada roti. Mama Dava hanya tersenyum pahit. Ia tahu Dava masih marah padanya. Dava pergi ke kampus dan seperti biasanya ia menjemput Kania terlebih dahulu.

Kania dan Dava telah tiba di kampusnya. Kania turun dari motor Dava.
“Gue duluan ya.”
“Eh, tunggu. Barengan aja kenapa sih?” Dava menarik lembut lengan Kania.
“Aduh, gue ada urusan nih. Udah ya, daaah.” Kania melambaikan tangannya pada Dava.

Kania berjalan sendirian sambil membawa dua buku tebal dalam pelukannya. Lalu ia berpapasan dengan seorang wanita imut berambut pendek. Wanita itu tersenyum ramah pada Kania begitupun juga lelaki berkulit putih di sampingnya. Kania membalas senyum mereka. ‘Nabila...’ batin Kania.

Kemudian Kania membalikkan badannya untuk melihat mereka yang semakin menjauh. Kania teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Nabila adalah wanita yang ia lihat sedang bersama Dava di loker. Kania tahu betapa kecewanya Nabila atas penolakan Dava dulu. Sekarang sepertinya Nabila telah menemukan pengganti Dava dan mereka terlihat bahagia. Sedangkan Kania? Ia masih kebingungan atas hubunganya dengan Dava. Kania tersenyum getir memandang Nabila dan lelaki itu yang berjalan bergandengan tangan. Kania kembali membalikkan badannya dan melanjutkan perjalannya. Kepalanya tertunduk lesu.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
28 September 2014

1 komentar: