Senin, 26 Desember 2011

Saat Aku Terbangun Dari Tidurku : IV

“Abram? Lalu bagaimana dengan perasaanku?”
“Vily, kau tahu kan, rasa sayangku padamu berupa rasa sayang seorang kakak ke adiknya. Aku sangat menghargai perasaanmu, namun hubungan kita tidak bisa lebih.”
“Ya, aku mengerti. Aku harap hubungan kita tidak terganggu setelah kejadian ini.”
“Tentu saja.”

Apa arti dari senyumnya itu? Apakah ia kasihan padaku? Atau dia sedang mencoba menghiburku dengan senyumnya itu? Atau itu akan menjadi senyum terakhirnya untukku? Aku harap ini hanyalah mimpi, dan saat aku terbangun dari tidurku semuanya akan baik-baik saja.

“Ayo kita pulang.”
Kata-kata Abram membuatku tersadar bahwa ini bukanlah mimpi.
*****

Neeett!
New Message :
Vily, hari ini aku akan kembali ke New Jersey untuk melanjutkan S2. Jaga kesehatanmu karena di saat aku kembali ke Indonesia aku ingin melihatmu tersenyum. Maafkan aku. Aku harap kau membiarkanku pergi. Aku tak ingin melihat kau menangis, jadi aku mohon tersenyumlah.
From : Abram

Abram akan pergi? New Jersey? Tidak! Abram tidak boleh pergi! Aku harus mencegahnya!

“Ibu! Ibu!”
“Ada apa Vily? Kenapa kau teriak-teriak?”
“Aku mau pergi. Jika ayah mencariku, katakan aku sedang mengantar temanku di bandara.”
“Iya, hati- hati ya.”

Aku harus cepat. Aku tak ingin kehilangannya. Abram, tega sekali kau meninggalkanku. Padahal kau tahu perasaanku padamu, seharusnya kau bisa memberiku kesempatan untuk bersamamu lebih lama. Air mataku tertahan di pelupuk mata, aku tidak boleh menangis, karena semua ini akan baik-baik saja.

Sesampainya di bandara aku segera berlari. Semoga Abram masih di sini. Dia tidak boleh pergi sebelum aku bertemu dengannya untuk terakhir kali. Abram kau ada dimana?

"Abram!"

Aku terlambat. Seharusnya aku tahu bahwa senyumnya di pantai waktu itu adalah senyumnya yang terakhir. Sekarang aku tak bisa melihat senyumnya lagi. Aku tak boleh menangis, Abram ingin aku tersenyum. Sampai jumpa lagi Abram.

“Paman, aku pergi. Terimakasih untuk setahun ini. Jaga kesehatanmu.”
“Kau juga. Terimakasih juga karena kau telah menemani paman selama setahun ini. Pastikan ketika pulang ke Indonesia nanti kau harus bersama orang tuamu.” pesan paman.
“Aku sayang padamu Paman.” aku memeluk paman.
“Paman juga menyayangimu, Abram.”
*****

3 bulan setelah kepergian Abram aku masih merasa belum bisa melepaskannya dari pikiranku. Tapi tak apa, Abram akan segera kembali. Aku hanya perlu menunggunya. Aku tidak bekerja lagi di Delicio, sesuai janji ayah sekarang aku telah kuliah. Aku merasa sedikit kesepian. Ayah sedang sangat sibuk karena ada masalah dengan restoran. Ibu juga ikut sibuk, sepertinya ia takut jika ayah akan bangkrut. Harusnya aku tahu itu sejak awal.

“Vily?”
“A-ayah?”
“Kenapa kau terkejut seperti itu?”
“Tidak apa-apa kok.” jawabku asal.
“Vily, ayah tahu kau sedang berbohong. Belakangan ini kau terlihat murung. Jika masalah restoran kau tak usah ambil pusing, karena ayah pasti akan bisa mengatasinya.” jawab ayah yakin.
“Bukan masalah itu Ayah. Vily...” aku sungkan melanjutkan kata-kataku.
“Ayo, ceritakan pada ayah.”
“Ayah, apakah Vily salah menyukainya? Apa Vily harus membuang rasa suka Vily terhadap Abram?”
“Tidak, kau tidak salah. Lupakan saja dia. Hidupmu masih panjang.” ayah memelukku.

Aku seharusnya mengikuti nasihat ayah, tapi tidak untuk sekarang. Aku perlu waktu. Aku ingin ke pantai.

Hanya 15 menit waktu yang kuperlukan untuk tiba di pantai. Aku masih ingat hari terakhirku bersama Abram di pantai ini. Aku merindukannya. Tiupan angin membuat aku merasa damai. Pantai yang selalu sepi ini membuatku nyaman tanpa adanya gangguan dari pengunjung lain. Setidaknya aku bisa benar-benar menyendiri di sini.

Handphone-ku tiba-tiba berbunyi.
“Halo? Apa? Ayah! Ayaaaaah!!!”

To Be Continued . . .


Umi Yanti
23 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar