"Gue terlalu sibuk sampai-sampai ga sempat untuk mikirin kesedihan gue sendiri. Gue terlalu merasa nyaman sampai akhirnya gue sadar kalo semua ini udah beda, ga sama seperti dulu." ungkap Kania.
Lily hanya diam menatap sedih temannya itu. Ia masih menunggu Kania melanjutkan kalimatnya.
"Ly, jujur, gue bener-bener bingung. Gue ngerasa aneh. Gue merasa ada yang hilang tapi gue ga tau apa itu dan hingga sekarang gue belum menemukannya. Gue akui gue sedih dengan situasi saat ini karna ga bisa dibohongi kebersamaan gue dan Dava selama ini begitu berarti buat gue. Mungkin rasa itu masih ada di antara kami, tapi apa mungkin kami bisa bertahan dengan kondisi seperti ini?"
"Kita ga pernah tau apa yang akan terjadi. Seperti burung yang udah tinggal di sarangnya sejak ia masih menjadi telur hingga menetas lalu terus tumbuh dan berkeliling mengitari alam ini pada akhirnya ia akan kembali ke sarangnya itu. Percaya deh, jodoh ga akan ketuker." ucap Lily.
Di sebuah ruangan luas yang dipenuhi berbagai gaun yang terpajang rapih di setiap sudutnya tampak seorang wanita cantik mengenakan dress merah selutut sedang berkutat dengan pekerjaannya. Ia duduk di balik meja kerjanya yang berbentuk setengah lingkaran. Tangan kanannya asyik menari-nari menumpahkan ide-idenya di atas selembar kertas putih. Desain baju yang ia buat begitu cantik. Lalu ia berhenti dan berdiri, berjalan mendekati jendela besar yang ada di ruangan itu.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mama Dava membatalkan perjodohan ini? Tunggu...'
Matanya berputar dan mencoba mengingat-ingat sesuatu.
'Mamanya Dava menjadi aneh sejak dia menolongku waktu itu. Aku harus mencari tahu apa yang membuatnya berubah pikiran!' batin Mama Kania lagi.
"Ly, gue pulang ya udah sore nih." ucap Kania saat melihat jam tangannya.
"Wah, ga kerasa udah sore aja."
Kania pun memeluk Lily. "Makasih ya lo udah mau dengerin curhatan gue."
"Iya sama-sama. Inget kata-kata gue tadi. Lo hati-hati ya nyetirnya."
Keduanya pun berjalan keluar rumah. Kania mengambil kunci mobil di dalam tas hitam kecilnya.
"Dava, kita kan udah beberapa bulan ini sama-sama, kok lo masih agak dingin sih sama gue?" tanya Ratu pada lelaki beralis tebal itu.
"Emangnya gue harus gimana? Kan lo tau sendiri orangtua kita yang berusaha deketin kita. Udah deh ga usah drama. Santai aja."
Kemudian mereka beranjak dari meja makan itu dan berjalan menuju kedua orangtuanya yang sudah menunggu mereka di dalam mobilnya masing-masing.
"Om, Tante, duluan ya." pamit Ratu saat ia melewati mobil Dava.
Ratu memasuki mobilnya dan di dalamnya sudah ada sang Papa. Mobil itu pun berjalan meninggalkan mobil Dava yang berada di belakang.
"Gimana sayang hari ini?" tanya Papa Ratu.
"Ratu seneng banget Pa hari ini. Makasih udah ajak Ratu dan Dava makan siang." ujar Ratu sumringah.
"Sama-sama sayang."
Senyum Ratu mulai memudar. "Tapi Pa, kok Dava masih cuek ya sama Ratu?"
"Hemm, apa perlu Papa melakukan sesuatu?" tawar Papa Ratu.
"Ga usah, Pa. Belum saatnya. Kalo Ratu udah ngerasa ga sanggup lagi, Ratu bakalan bilang kok sama Papa."
"Kamu harus ingat, Papa akan melakukan apapun supaya kamu bahagia."
Ratu tersenyum lega mendengar ucapan Papanya. Matanya berbinar memandangi jalanan yang ada di depannya.
******
Mobil sudah terparkir di pekarangan rumah Dava. Papa dan Mama Dava keluar dari mobil dan memasuki rumah, namun lain halnya dengan Dava. Dava lebih memilih pergi ke rumah Kania.
Ketika hendak membuka pagar rumah Kania, ia tersadar bahwa pagar itu digembok dan itu artinya tidak ada orang di sana. Dengan kecewa Dava kembali ke rumahnya.
"Dava." panggil Mama.
Papa dan Mama Dava sedang duduk santai di sofa ruang tivi. Dava segera duduk di samping mereka.
"Dava. Ada yang mau Mama katakan."
"Apa?" tanya Dava cuek.
"Sayang, gimana kalo kamu bertunangan dengan Ratu." ucap Mama Dava tenang yang membuat Dava bagai mendengar petir tepat di atas kepalanya.
"Tunangan? Ratu?" kata Dava terkejut.
"Iya, sayang." ucap Mama Dava lagi.
Papa Dava hanya diam. Tampak raut wajahnya kurang setuju dengan tindakan istrinya.
"Ma, Dava ga cinta sama Ratu dan Dava belum mau tunangan!"
"Ini cuma sebagai pengikat kamu dan Ratu aja kok. Kalo masalah cinta kamu tenang aja. Seiring berjalannya waktu, mama yakin cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Bukankah dulu waktu kamu dan Kania dijodohkan kalian ga saling cinta? Tapi nyatanya cinta itu pun muncul di antara kalian." Mama Dava langsung menghentikan ucapannya. Jantungnya berdetak. Tak seharusnya is mengungkit masalah itu lagi.
"Itu Mama tau Dava dan Kania saling mencintai, lalu kenapa Mama batalin perjodohan kami? Dan sekarang Mama mau tunangin aku sama Ratu? Dava ga ngerti sama Mama! Cinta Dava ke Kania masih sangat besar, mana mungkin Dava bisa tunangan sama Ratu! Dava cinta sama Kania!." Dava tak sanggup lagi menahan emosinya. Matanya memerah.
Dava melanjutkan, "Mungkin benar kata Mama, lama-kelamaan Dava akan cinta sama Ratu. Kemudian, di saat cinta itu semakin membesar Dava takut Mama akan ngelakuin hal yang sama seperti yang Mama lakuin ke Dava dan Kania. Dava ga siap jika harus berpisah untuk yang kedua kalinya."
"Kamu ga usah khawatir. Mama ga akan pisahin kamu dan Ratu. Pokoknya Mama mau kamu dan Ratu tunangan!"
"Mama!" bentak Papa Dava.
"Pa! Ini semua mama lakukan untuk Dava." ucap Mama Dava lirih.
Dava berlari ke kamarnya, sedangkan orangtuanya mulai bersitegang. Papa Dava sudah tidak tahan lagi dengan sikap istrinya. Selama ini Papa Dava selalu terllihat santai dan tenang. Namun tidak dengan sore ini.
"Ma, sudah cukup! Mama jangan bikin Dava semakin terpuruk! Mama tidak lihat? Dava tersiksa dengan semua ini. Rasa cinta Dava ke Kania belum hilang, tapi Mama malah menyuruh dia membuka lembaran baru dengan wanita lain, coba Mama pikir!."
"Harus berapa kali Mama bilang kalo ini semua demi kebaikan Dava?!"
"Dan harus berapa kali juga Papa tanya kebaikan seperti apa? Mama ga pernah jelasin semuanya. Justru sikap Mama ini membuat kita seua bingung. Sekarang Mama ceritakan semuanya ke Papa! Papa mau dengar semuanya, Papa mau masalah ini selesai hari ini juga." ujar Papa Dava tegas.
******
To Be Continued . . .
Umi Yanti
21 September 2014
Read the rest ^,^