Selasa, 30 September 2014

2014 Tahun Produktif

Setelah bercerita tentang kehidupan kampus di postingan sebelumnya, hari ini aku mau berbagi kesibukan di tahun ini, masih seputar dunia perkuliahan.

Di kampus aku bergabung di organisasi yang kami sebut sebagai badan otonom (BO). BO yang aku ikuti adalah INTEL (Ilkom's Community of English Lovers). Kami melakukan pertemuan setiap hari Sabtu di kampus Ilkom Bukit (Palembang). Anggota INTEL ada kakak tingkat (2011 dan 2012) sesama Fasilkom yaitu jurusan Sistem Informasi, Teknik Informatika dan tentunya Sistem Komputer.

Karena INTEL aku bisa mengikuti Indonesia Scrabble Challenge 2014. ISC adalah turnamen scrabble tingkat nasional yang diadakan oleh Indonesian Scrabble Federation pada 24 - 26 Mei di Palembang. Pesertanya selain dari Sumatera Selatan, juga berasal dari Lampung dan Jakarta.

On tournament

ISC 2014

Tahun akademik baru dimulai pada Agustus 2014 dan aku dipercayakan untuk menjadi panitia acara PK2 Fasilkom Unsri 2014. PK2 (Program Pengenalan Kampus) ini dilakukan setelah mahasiswa dinyatakan sah menjadi mahasiswa Unsri dan berlangsung selama 3 hari. Hari pertama seluruh mahasiswa baru (maba) Unsri mengikuti pembukaan di auditorium. Sedangkan, hari ke-2 dan ke-3 maba ke fakultas masing-masing. Aku bertugas sebagai kakak asuh di kelompok 3 : Opera. Sebagai kakak asuh aku dan partner bertanggung jawab terhadap semua adik asuh di kelompok Opera. Kami berangkat ke lokasi PK2 bersama-sama menggunakan bis yang sudah disiapkan (sekitar jam 6 pagi) karena PK2 berlangung di kampus Layo. By the way, karena aku antusias menjadi panitia PK2 ini dan kebetulan ada bahan, aku membuat sendiri papan nama kelompok hehehe 😄

Papan nama kelompok
Kelompok 3 Opera

Read the rest ^,^

Minggu, 28 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : X

Cahaya senja masuk dengan leluasa ke dalam kamar Dava melalui jendela-jendela bening nan besar. Dava mengambil handphone dari saku celananya. Lalu mengirimkan pesan kepada gadis yang selalu hadir di pikirannya.

To : Cewek Kacang
“Kalo lo udah pulang, cepetan ke balkon kamar lo, gue tunggu. Sekarang.”

Selesai mengirimkan pesan singkat itu Dava segera berjalan ke arah balkon kamarnya. Ia berdiri di pinggir balkon itu yang dibatasi oleh pagar hitam setinggi perutnya.

“Itulah mengapa Mama batalin perjodohan Dava dan Kania. Mama ga mau mereka akan terluka lebih dalam.”

Mama Dava telah menceritakan semuanya kepada suami yang telah ia kenal lebih dari 20 tahun itu. Air mata menetes di pipinya. Tidak mudah untuk mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Sebagai seorang Ibu, Mama Dava hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk anaknya.

“Harusnya dari dulu Mama cerita. Sebagai suami-istri kita seharusnya berbagi, Papa ga tega lihat Mama menanggung kesedihan ini sendirian. Mama harus ingat, Papa akan selalu ada buat Mama. Tapi, menurut Papa sebaiknya kita cari tahu semuanya biar lebih jelas.” Kata Papa Dava sambil menenangkan istrinya itu.
“Maafin Mama, Pa. Tapi kayanya kita ga usah ngelakuin apa pun. Semuanya terlalu aneh jika dianggap suatu kebetulan. Sekarang Mama cuma ingin mereka bahagia.”

Papa Dava meraih tubuh Mama Dava. Memeluknya erat.
“Meskipun Papa adalah Papa tirinya Dava, tapi Papa sangat sayang sama Dava. Dava sudah menjadi separuh hidup Papa dan kebahagiaan Dava adalah yang utama bagi Papa.” ucap Papa Dava yang membuat tangis istrinya itu pecah.

Butiran bening itu jatuh dan membasahi kemeja Papa Dava. Kenyamananlah yang Mama Dava rasakan dalam pelukan hangat suaminya itu. Papa Dava melepaskan pelukannya. Ia menatap dalam mata istrinya. Dihapusnya air mata yang telah membuat mata istrinya itu sembab. Lalu kecupan sayang ia luncurkan ke kening wanita berparas ayu itu.

10 menit telah Dava habiskan untuk menanti Kania. Akhirnya gadis bermata cokelat itu muncul dari balik pintu. Ia berdiri di pinggir balkon sama halnya dengan Dava. Senyuman manis pun ia berikan pada lelaki yang ia cintai itu. Dava menelepon Kania melalui handphone yang ia genggam sedari tadi. Dengan cepat Kania mengangkat telepon itu. Dava memulai.

“Halo Kania. Dari mana lo?”
“Dari rumah Lily. Ngapain lo nyuruh gue ke balkon? Pake acara telpon-telponan pula kan kita bisa ngomong langsung. Dasar aneh!” cerocos Kania.
“Aduh, satu-satu napa? Lo itu ya! Eh, gue mau ngomong nih.”
“Ya ngomong aja. Kayanya serius banget.” Dava menarik napas panjang.
“Gue pernah liat iklan di tivi, katanya minyak dan air itu ga bisa bersatu. Lo tau kenapa? Karena mereka berbeda. Tapi meski berbeda, mereka masih bisa berdampingan. Gue harap kita bisa seperti minyak dan air. Kita sama-sama tau kan, saat ini keadaan memaksa kita untuk ga bisa bersatu.”
“Gue ga mau seperti minyak dan air. Karena selamanya minyak dan air ga akan pernah bisa bersatu.” Mata Kania mulai berkaca-kaca menatap Dava dari kejauhan.
“Yaudah kalo gitu kita jangan seperti mereka. Kita cari cara supaya bisa sama-sama. Tapi sebenernya ada hal yang jauh lebih penting yang mau gue kasih tau sama lo.”
“Apaan?”
“Tadi Mama nyuruh gue tunangan sama Ratu. Gue ga tau ada angin apa tiba-tiba Mama ngomong itu ke gue.” ungkap Dava.
“Tunangan sama Ratu? “ tanya Kania terkejut.
“Iya...”
“Kenapa jadi kaya gini sih, Dav? Gue ga ngerti sama Tante. Kenapa Tante ngelakuin ini semua? Kasih tau gue, apa yang harus gue lakuin, Dava.”
“Kania, dalam hidup ini Tuhan adalah sutradara dan kita adalah pemainnya. Jadi kita jalani aja skenario yang udah Tuhan kasih untuk kita. Percaya deh, kita pasti akan bahagia karena kita memang pantas bahagia.”
“Tapi kapan?” suara Kania melemah.
“Gue ga tau kapan. Tapi yang jelas hingga sekarang gue masih sayang sama lo, sayang banget.” ucap Dava memberikan penekanan pada kata sayang.
“Gue juga sayang banget sama lo, Dava.”
******

Dava telah berpakaian rapih dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dan celana jins kesayangannya. Ia mengambil ransel yang berada di kursi lalu berjalan keluar kamarnya.

“Dava, sarapan dulu sayang.” teriak Mamanya usai Dava menuruni tangga.
“Ga usah, ma. Dava sarapan di kampus aja.” jawab Dava dingin.

Papa Dava yang sedang makan nasi goreng di meja makan menoleh pada istrinya yang sedang mengoleskan selai pada roti. Mama Dava hanya tersenyum pahit. Ia tahu Dava masih marah padanya. Dava pergi ke kampus dan seperti biasanya ia menjemput Kania terlebih dahulu.

Kania dan Dava telah tiba di kampusnya. Kania turun dari motor Dava.
“Gue duluan ya.”
“Eh, tunggu. Barengan aja kenapa sih?” Dava menarik lembut lengan Kania.
“Aduh, gue ada urusan nih. Udah ya, daaah.” Kania melambaikan tangannya pada Dava.

Kania berjalan sendirian sambil membawa dua buku tebal dalam pelukannya. Lalu ia berpapasan dengan seorang wanita imut berambut pendek. Wanita itu tersenyum ramah pada Kania begitupun juga lelaki berkulit putih di sampingnya. Kania membalas senyum mereka. ‘Nabila...’ batin Kania.

Kemudian Kania membalikkan badannya untuk melihat mereka yang semakin menjauh. Kania teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Nabila adalah wanita yang ia lihat sedang bersama Dava di loker. Kania tahu betapa kecewanya Nabila atas penolakan Dava dulu. Sekarang sepertinya Nabila telah menemukan pengganti Dava dan mereka terlihat bahagia. Sedangkan Kania? Ia masih kebingungan atas hubunganya dengan Dava. Kania tersenyum getir memandang Nabila dan lelaki itu yang berjalan bergandengan tangan. Kania kembali membalikkan badannya dan melanjutkan perjalannya. Kepalanya tertunduk lesu.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
28 September 2014
Read the rest ^,^

Minggu, 21 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : IX

"Gue terlalu sibuk sampai-sampai ga sempat untuk mikirin kesedihan gue sendiri. Gue terlalu merasa nyaman sampai akhirnya gue sadar kalo semua ini udah beda, ga sama seperti dulu." ungkap Kania.

Lily hanya diam menatap sedih temannya itu. Ia masih menunggu Kania melanjutkan kalimatnya.

"Ly, jujur, gue bener-bener bingung. Gue ngerasa aneh. Gue merasa ada yang hilang tapi gue ga tau apa itu dan hingga sekarang gue belum menemukannya. Gue akui gue sedih dengan situasi saat ini karna ga bisa dibohongi kebersamaan gue dan Dava selama ini begitu berarti buat gue. Mungkin rasa itu masih ada di antara kami, tapi apa mungkin kami bisa bertahan dengan kondisi seperti ini?"
"Kita ga pernah tau apa yang akan terjadi. Seperti burung yang udah tinggal di sarangnya sejak ia masih menjadi telur hingga menetas lalu terus tumbuh dan berkeliling mengitari alam ini pada akhirnya ia akan kembali ke sarangnya itu. Percaya deh, jodoh ga akan ketuker." ucap Lily.

Di sebuah ruangan luas yang dipenuhi berbagai gaun yang terpajang rapih di setiap sudutnya tampak seorang wanita cantik mengenakan dress merah selutut sedang berkutat dengan pekerjaannya. Ia duduk di balik meja kerjanya yang berbentuk setengah lingkaran. Tangan kanannya asyik menari-nari menumpahkan ide-idenya di atas selembar kertas putih. Desain baju yang ia buat begitu cantik. Lalu ia berhenti dan berdiri, berjalan mendekati jendela besar yang ada di ruangan itu.

'Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mama Dava membatalkan perjodohan ini? Tunggu...'

Matanya berputar dan mencoba mengingat-ingat sesuatu.

'Mamanya Dava menjadi aneh sejak dia menolongku waktu itu. Aku harus mencari tahu apa yang membuatnya berubah pikiran!' batin Mama Kania lagi.

"Ly, gue pulang ya udah sore nih." ucap Kania saat melihat jam tangannya.
"Wah, ga kerasa udah sore aja."

Kania pun memeluk Lily. "Makasih ya lo udah mau dengerin curhatan gue."
"Iya sama-sama. Inget kata-kata gue tadi. Lo hati-hati ya nyetirnya."

Keduanya pun berjalan keluar rumah. Kania mengambil kunci mobil di dalam tas hitam kecilnya.

"Dava, kita kan udah beberapa bulan ini sama-sama, kok lo masih agak dingin sih sama gue?" tanya Ratu pada lelaki beralis tebal itu.
"Emangnya gue harus gimana? Kan lo tau sendiri orangtua kita yang berusaha deketin kita. Udah deh ga usah drama. Santai aja."

Kemudian mereka beranjak dari meja makan itu dan berjalan menuju kedua orangtuanya yang sudah menunggu mereka di dalam mobilnya masing-masing.

"Om, Tante, duluan ya." pamit Ratu saat ia melewati mobil Dava.

Ratu memasuki mobilnya dan di dalamnya sudah ada sang Papa. Mobil itu pun berjalan meninggalkan mobil Dava yang berada di belakang.

"Gimana sayang hari ini?" tanya Papa Ratu.
"Ratu seneng banget Pa hari ini. Makasih udah ajak Ratu dan Dava makan siang." ujar Ratu sumringah.
"Sama-sama sayang."
Senyum Ratu mulai memudar. "Tapi Pa, kok Dava masih cuek ya sama Ratu?"
"Hemm, apa perlu Papa melakukan sesuatu?" tawar Papa Ratu.
"Ga usah, Pa. Belum saatnya. Kalo Ratu udah ngerasa ga sanggup lagi, Ratu bakalan bilang kok sama Papa."
"Kamu harus ingat, Papa akan melakukan apapun supaya kamu bahagia."

Ratu tersenyum lega mendengar ucapan Papanya. Matanya berbinar memandangi jalanan yang ada di depannya.
******

Mobil sudah terparkir di pekarangan rumah Dava. Papa dan Mama Dava keluar dari mobil dan memasuki rumah, namun lain halnya dengan Dava. Dava lebih memilih pergi ke rumah Kania.

Ketika hendak membuka pagar rumah Kania, ia tersadar bahwa pagar itu digembok dan itu artinya tidak ada orang di sana. Dengan kecewa Dava kembali ke rumahnya.

"Dava." panggil Mama.
Papa dan Mama Dava sedang duduk santai di sofa ruang tivi. Dava segera duduk di samping mereka.

"Dava. Ada yang mau Mama katakan."
"Apa?" tanya Dava cuek.
"Sayang, gimana kalo kamu bertunangan dengan Ratu." ucap Mama Dava tenang yang membuat Dava bagai mendengar petir tepat di atas kepalanya.
"Tunangan? Ratu?" kata Dava terkejut.
"Iya, sayang." ucap Mama Dava lagi.

Papa Dava hanya diam. Tampak raut wajahnya kurang setuju dengan tindakan istrinya.

"Ma, Dava ga cinta sama Ratu dan Dava belum mau tunangan!"
"Ini cuma sebagai pengikat kamu dan Ratu aja kok. Kalo masalah cinta kamu tenang aja. Seiring berjalannya waktu, mama yakin cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Bukankah dulu waktu kamu dan Kania dijodohkan kalian ga saling cinta? Tapi nyatanya cinta itu pun muncul di antara kalian." Mama Dava langsung menghentikan ucapannya. Jantungnya berdetak. Tak seharusnya is mengungkit masalah itu lagi.
"Itu Mama tau Dava dan Kania saling mencintai, lalu kenapa Mama batalin perjodohan kami? Dan sekarang Mama mau tunangin aku sama Ratu? Dava ga ngerti sama Mama! Cinta Dava ke Kania masih sangat besar, mana mungkin Dava bisa tunangan sama Ratu! Dava cinta sama Kania!." Dava tak sanggup lagi menahan emosinya. Matanya memerah.
Dava melanjutkan, "Mungkin benar kata Mama, lama-kelamaan Dava akan cinta sama Ratu. Kemudian, di saat cinta itu semakin membesar Dava takut Mama akan ngelakuin hal yang sama seperti yang Mama lakuin ke Dava dan Kania. Dava ga siap jika harus berpisah untuk yang kedua kalinya."
"Kamu ga usah khawatir. Mama ga akan pisahin kamu dan Ratu. Pokoknya Mama mau kamu dan Ratu tunangan!"
"Mama!" bentak Papa Dava.
"Pa! Ini semua mama lakukan untuk Dava." ucap Mama Dava lirih.

Dava berlari ke kamarnya, sedangkan orangtuanya mulai bersitegang. Papa Dava sudah tidak tahan lagi dengan sikap istrinya. Selama ini Papa Dava selalu terllihat santai dan tenang. Namun tidak dengan sore ini.

"Ma, sudah cukup! Mama jangan bikin Dava semakin terpuruk! Mama tidak lihat? Dava tersiksa dengan semua ini. Rasa cinta Dava ke Kania belum hilang, tapi Mama malah menyuruh dia membuka lembaran baru dengan wanita lain, coba Mama pikir!."
"Harus berapa kali Mama bilang kalo ini semua demi kebaikan Dava?!"
"Dan harus berapa kali juga Papa tanya kebaikan seperti apa? Mama ga pernah jelasin semuanya. Justru sikap Mama ini membuat kita seua bingung. Sekarang Mama ceritakan semuanya ke Papa! Papa mau dengar semuanya, Papa mau masalah ini selesai hari ini juga." ujar Papa Dava tegas.
******

To Be Continued . . .


Umi Yanti
21 September 2014
Read the rest ^,^

Sabtu, 20 September 2014

Rekomendasi Drakor

Halooo ...

Hari ini aku mau kasih rekomendasi DRAKOR (drama korea) yang bagus.
Dijamin seru dan ceritanya menarik karena udah aku tonton sendiri sampai tamat.
Listnya bakalan aku update setiap habis nonton drakor baru (insya allah hehe)
Ini aku urutin berdasarkan tahun drakornya rilis yaa. Let's cekidot! :3

2000  Endless Love
2004  Full House
2006  Princess Hours
2008  Cruel Temptation
2008  You Are My Destiny
2009  Boys Over Flower
2009  Brilliant Legacy
2009  Great Queen Seondeok
2009  My Fair Lady
2010  Bread Love and Dream
2010  Cinderella's Sister
2010  Dong Yi
2010  Pink Lipstick
2010  Playfull Kiss
2010  Bad Guy
2011  49 Days
2011  City Hunter
2011  Dream High
2011  Glory Jane
2011  Lie to Me
2012  Can We Get Married?
2012  Faith
2012  Gentleman's Dignity
2013  The Heirs
2016  Goblin
2016  Love is Drop by Drop
2016  Our Gap Soon
2016  Yeah, That's How It is
2017  Avengers Social Club
2017  Because This is My First Life
2017  Tunnel
2017  Sweet Enemy
2018  Good Witch
2018  Mother
2019  Crowned Clown
2019  He Is Psychometric
2020  Flower of Evil
2020  The Penthouse
Read the rest ^,^

Kamis, 11 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VIII

Kania tampak tidak berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang diberikan oleh dosennya. Ia merasa ingin segera keluar dari kelas. Ketika dia memutar kepalanya ke luar melalui pintu kelas yang terbuka, ia melihat Dava sedang berjalan. Mata mereka bertemu. Dava berhenti dan memandang lekat wajah Kania dari luar sana. Dava akhirnya menunggu Kania di depan kelasnya.

1 jam berlalu, dosen pun keluar dari kelas Kania. Kania segera menghampiri Dava yang telah menunggunya sedari tadi. "Kita harus bicara." ucap Dava.

Keduanya pun berjalan menuju taman yang berada di dekat perpustakaan. Lalu duduk di bangku hijau yang ada di sana. Dava memetik setangkai mawar merah. Ia meletakkannya di atas telapak tangan Kania. Kania mengerutkan dahi.

"Lo tau, mawar ini cantik banget. Satu hal yang tidak kita sadari, ketika dipetik dari batangnya mawar ini kesakitan dan menganggap perbuatan kita kejam tapi mawar ini tetap terlihat cantik. Namun, lama-kelamaan mawar ini akan layu dan mati."

Kania menatap Dava sambil memegang mawar digenggamannya.

Dava melanjutkan, "Gue berharap lo ga kaya mawar ini. Meskipun lo bakalan dipisahkan dari gue, lo harus tetap jalani hidup lo dengan senyum dan semangat. Gue ga mau lo cuma bertahan sebentar terus layu kaya mawar ini, gue harap lo akan terus bertahan selamanya. Akan tetap secantik mawar ini sebelum ia dipetik."
"Oke, gue akan bertahan. terus lo gimana?" tanya Kania sedih.
"Gue juga akan bertahan. Karna gue akan selalu jagain lo. Gue akan selalu ada buat lo."
"Mana mungkin!"
"Gue akan berusaha. Gue janji. Jujur, gue sayang banget sama lo, Kania."
"Kita lihat aja nanti, gue pegang janji lo, Dava." Kania pun meninggalkan Dava.

Cuaca sedang bersahabat. Ia seakan mengerti dengan perasaan Kania. Saat ini jam telah menunjukkan pukul 3 sore. Kania menikmati hembusan angin yang menerbangkan rambutnya. Ia berdiri di balkon kamarnya. Balkon yang tepat menghadap ke arah rumah Dava, lebih tepatnya kamar Dava. Ia memandang lurus dan tidak terlihat siapapun di jung sana.

Mama Kania telah menceritakan hasil dari pertemuannya dengan Mama Dava. Sama halnya dengan sang Mama, Kania juga tak mengerti dengan tingkah Mama Dava. Setelah merasa puas melepaskan penat di balkon itu, tiba-tiba pintu kamar Dava terbuka. Keluarlah sosok pria beralis tebal yang sekarang sedang berdiri di balkon kamar yang berseberangan dengan Kania. Mereka memandang satu sama lain.
******

"Eh, alis tebal! Anterin gue ke rumah temen gue dong." pinta Kania saat melihat Dava yang melintas di depan rumahnya.
"Maaf banget Kania. Gue ga bisa. Bentar lagi gue dan orangtua gue mau makan siang sama Ratu dan Papanya." ungkap Dava.
Kania tampak sedikit kecewa. "Hem, ya udah gapapa. Gue bisa sendiri kok. Oh ya, have fun ya!"

Tidak terasa satu bulan telah berlalu sejak perjodohan Dava dan Kania dibatalkan. Saat ini Dava sedang dekat dengan Ratu. Dava dan Kania pun masih berhubungan baik. Bahkan sesuai dengan ucapannya, Mama Dava tidak pernah berusaha untuk menjauhkan Kania dan Dava. Mama Dava tetap menyayangi dan menganggap Kania sebagai anaknya sendiri. Dan satu hal yang tak kalah penting, baik Dava maupun Kania masih saling menyayangi. Perasaan mereka tak berkurang sedikit pun, malah semakin kuat.

"Ma..." kata Papa Dava pada istrinya.
"Iya, Pa. Kenapa?" balas Mama Dava sambil mengoleskan make up-nya.
"Sebenernya Papa masih belum yakin dengan alasan Mama batalin perjodohan Dava dan Kania."
"Mama kan sudah jelasin ke Papa. Ini untuk kebaikan Dava dan Kania."
"Tapi, Ma, kita kan belum membuktikan semuanya." ucap Papa Dava penuh kesabaran.
"Sudahlah, Pa. Kita ga usah membahas ini lagi. Papa liat sendiri kan, semuanya berjalan dengan lancar. Dava dan Kania baik-baik saja kok."
"Ma, kita ga pernah tahu isi hati orang lain. Bisa saja apa yang terlihat di luar berbeda dengan yang di dalam."
"Ayo Pa kita pergi. Kasian Ratu dan Papanya pasti sudah nungguin kita." ajak Mama Dava tak memperdulikan perkataan suaminya.

Di sebuah meja makan bundar yang dibalut taplak meja berwarna putih-ungu itu duduklah Dava, Ratu dan orangtua mereka. Makanan dan minuman telah dipesan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang. Keakraban jelas terlihat di antara orangtua Dava dan Papa Ratu. Namun, Dava dan Ratu masih kaku seperti saat awal mereka bertemu. Ratu selalu mengajak Dava mengobrol dan Dava selalu menjawabnya singkat.

"Halo, Ly gue ke rumah lo ya." ucap Kania di telepon.
"Oke, kebetulan gue lagi sendirian. Asyik deh ada yang temenin gue." seru Lily.
"Kalo gitu gue sekarang jalan ya. Jangan lupa siapin cemilan!"
"Iya, iya. Ntar gue beli yang banyak hahaha"
"Hahaha Gitu dong! Ya udah, gue berangkat, bye."
"Sip, bye." telepon pun ditutup.

Kania mengambil kunci mobil yang berada di atas meja kecil di ruang tivi. Tak lama kemudian mobil berwarna biru muda itu pun meluncur mulus di jalanan sepi itu. Kania menghidupkan radio dan kebetulan sekali sebuah lagu yang mengingatkan kenangannya bersama Dava sedang mengalun.

It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall
I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in love
Somewhere I'd never thought I'd be

Lagu slow yang dinyanyikan oleh Craig David itu berhasil membuat ia merindukan sosok pria yang sudah lebih dari 5 tahun selalu bersamanya itu. Entah apa yang ia rasakan kini, sejak hari itu memang semuanya tidak berubah. Namun, Kania merasa ada yang kurang, bukan, aneh tepatnya.

Kania telah tiba di rumah Lily. Ia memarkirkan mobil mungilnya di halaman rumah itu. Kania langsung disambut oleh pelukan hangat Lily yang telah menantinya.

"Kaniaaa, Gue seneng banget lo ke sini! Jarang-jarang kan lo main ke sini!" teriak Lily ketika mereka baru saja duduk di kursi santai pinggir kolam yang berada di halaman belakang rumah Lily.
"Berarti lo beruntung dong Ly!" canda Kania.
"Dasar! Eh, by the way lo mau cerita apa? Gue udah penasaran!"
"Ha? Apaan sih? Baru juga duduk, lo udah nanya gue mau cerita apa."
"Ah, gue tau kali. Lo ke sini pasti mau cerita dan itu pasti tentang Dava!" tebak Lily.

Kania hanya tersenyum kecil. Pikirannya menerawang. Sebetulnya, ia sudah tidak sabar lagi hendak mencurahkan perasaannya. Namun, Kania berusaha untuk mengontrol perasaannya. Ia ingin meluapkan apa yang ia rasakan dengan tenang.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
11 September 2014
Read the rest ^,^

Minggu, 07 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VII

"Sayang, ayo kita pergi" ucap seorang wanita sambil membawa beberapa koper besar.

Bocah berusia 4 tahun yang belum mengerti apa-apa itu menuruti sang Mama. Mereka menaiki taksi dan berlalu meninggalkan rumah mewah itu. Di dalam mobil, bocah kecil itu terlelap. Sang Mama mengelus rambut anaknya. Tetes demi tetes air mata berjatuhan dari mata sembab wanita itu.

"Dava, kita akan memulai kehidupan yang baru." wanita itu mengecup pelan puncak kepala anaknya.

Dava dan Kania telah tiba di depan rumah Kania. Dua sejoli itu memasuki rumah Kania. Pintu tak terkunci namun tak ada orang di sana. Kania melangkah menuju kamar Mamanya dan diikuti oleh Dava.

"Mama?" ucap Kania kaget melihat sang Mama terkulai lemah di atas tempat tidur.
"Kania..."
"Mama kenapa?"
"Tenang, Mama cuma kelelahan kok. Tadi Mama Dava sudah bantuin Mama." ujar Mama Kania sambil melirik Dava.
"Syukur kalo Tante baik-baik aja. Mama di mana, Tante?" sambung Dava.
"Udah pulang. Coba deh kamu cek, kasian Mama kamu sendirian di rumah."
"Baiklah, kalo gitu Dava pamit ya, Tante." Dava pun mencium tangan Mama Kania.
"Kania antar Dava ke depan ya, Ma."
"Iya, Sayang."

Setelah menutup pintu kamar, Kania merangkul tangan Dava. Berjalan beriringan menuju pintu depan. Mereka saling melamparkan senyum. Sesampainya di ambang pintu, dengan manja Kania menyenderkan kepalanya di pundak Dava seolah-olah tak ingin membiarkan Dava pulang.

Dava membelai kepala Kania. "Gue harus pulang."
Kania menghela napas. "Ya udah, makasih ya buat hari ini. Gue ga nyangka kita bisa kaya gini."
"Sama-sama. Gue juga seneng banget hari ini."

Dava bingung melihat rumahnya tampak sepi. Tidak biasanya sang Mama sudah tidur, pikirnya. Saat hendak menaiki tangga, tiba-tiba pintu kamar Mama terbuka. Mama Dava keluar dari kamar dengan tampang kusut seperti sedang memikirkan hal yang berat.

"Dava.." panggil Mamanya pelan.
"Ada apa, Ma?"
"Mama mau bicara."

Mereka duduk di sofa depan tivi. Mama Dava memperhatikan wajah anaknya. Ia melihat Dava terlihat bahagia. Mengetahui hal itu, Mama Dava menjadi tidak tega untuk mengatakan apa yang hendak ia sampaikan. Ia pun mengurungkan niatnya.

"Kamu kelihatan senang. Kamu dan Kania kemana aja tadi?" tanya Mama Dava dengan senyum halus.
"Kami cuma ke toko hewan terus makan malam, hehe"
"Mama bahagia kalo kamu bahagia." Mama Dava pun memeluk hangat anaknya itu.
******

Hari ini terlihat berbeda dengan hari-hari biasanya. Tanpa disuruh Dava dan Kania pergi ke kampus bersama-sama. Mama Kania senang melihat perubahan kecil mereka. Namun, lain halnya dengan Mama Dava. Ia juga terlihat bahagia, tetapi wajahnya juga terlihat tidak tenang.

Mama Kania sedang menikmati harinya di rumah. Ia terlihat bahagia. Ia memasak makanan kesukaan sang putri. Usai memasak dan menyiram tanaman ia pergi ke rumah Dava. Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00. Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara Dava.

"Ma, Dava pulang."
"Sini, sayang." ucap Mama Dava dari dalam rumah.

Dava dan Mamanya sama-sama terkejut. Dava membawa Kania bersamanya dan ternyata Mama Kania juga sedang ada di rumah Dava. 'Kebetulan sekali' ucap Dava di dalam hati.

Dava dan Kania duduk berdampingan di sofa yang menghadap Mama mereka. Dava memunculkan mimik seriusnya. Dava menggenggam tangan Kania di hadapan orangtuanya. Mama Kania tersenyum.

"Tante, Mama, Dava dan Kania sudah mengambil keputusan. Kami mau melanjutkan perjodohan ini." ujar Dava sontak membuat mereka terkejut begitu pun Kania.

Kania meoleh pada Dava karena tak menyangka Dava akan mengatakan hal itu secepat ini. Mata Dava masih menatap Mamanya dan Mama Kania.

"Sa..."
"Ga bisa!" Mama Dava memotong ucapan Mama Kania.
"Mbak?"
"Perjodohan ini ga bisa dilanjutin. Perjodohan ini batal!" ucap Mama Dava dengan berat.

Tenggorokan Dava tercekat. Ia merasa kesulitan menelan ludahnya. Ia tak mengerti dengan sikap Mamanya. Bukankah semalam Mamanya berkata bahwa ia bahagia jika Dava bahagia? Dan inilah kebahagian bagi Dava. Ia menatap tajam Mamanya.Dava menoleh pada Kania. Terlihat butiran air mata sudah mengendap di pelupuk matanya.

"Kenapa Mama batalin perjodohan ini?!" sergah Dava pada Mamanya.
"Sayang, perjodohan ini harus dibatalkan."
"Mbak, bukankah kita sudah setuju untuk menjodohkan Dava dan Kania?" tanya Mama Kania yang terlihat mulai kesal.

Kania melepaskan genggaman Dava. Ia berlari yang kemudian dikejar oleh Mamanya. Dava hendak menyusul Kania, namun Mamanya menghalangi.

"Dava! Tetaplah di sini!"
"Ma? Mama kenapa? Ada apa sih?"
"Maafin Mama."
"Ma, tolong kasih tau Dava kenapa Mama batalin perjodohan ini?" pinta Dava lemah.
"Mama ga bisa kasih tau, Sayang."
"Ma, Dava mohon jelasin ke Dava..."
"Mama bilang perjodohan ini batal, artinya perjodohan ini batal! Tapi, meskipun perjodohan ini batal Mama ga melarang kamu untuk dekat sama Kania."

Mama Dava meninggalkan Dava yang masih tidak mengerti atas tingkah Mamanya. Dengan kesal Dava menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya. 'Mama kenapa sih?' batinnya heran.

Di dalam rumah bernuansa putih itu tampak seorang gadis menangis dalam pelukan hangat sang Mama.

"Ma, kenapa Tante batalin perjodohan ini? Apa Kania ada salah ya sama Tante?"
"Mama ga tau sayang, Mama ga tau."
"Ma, Kania sayang sama Dava. Sayang banget."

Mama Kania membelai rambut putri kesayangannya itu. "Nanti Mama bakal bicara sama orangtua Dava. Kamu yang sabar ya. Mama yakin semuanya akan baik-baik saja."

Paginya setelah Dava dan Kania pergi ke kampus, Mama Kania menemui Mama Dava.

"Mbak, kenapa Mbak batalin perjodohan ini? Coba jelasin, Mbak." Mama Kania memulai.
"Maaf, saya ga bisa jelasin apa-apa. Saya juga ga akan berusaha memisahkan Dava dan Kania. Saya ga akan melarang mereka untuk dekat. Saya hanya membatalkan perjodohan ini. Cuma itu."
"Saya benar-benar ga mengerti maksud Mbak."
"Kita lupain perjodohan ini. Anggap saja ini ga pernah terjadi."
"Mana bisa kita lupain ini begitu saja, Mbak! Mbak ga liat? Anak-anak kita sudah mulai dekat. Bahkan mereka sudah memutuskan untuk melanjutkan perjodohan ini, itu artinya mereka sudah mulai saling sayang." balas Mama Kania geram.
"Perjodohan ini batal." Mama Dava bersikeras.
"Apa saya ngelakuin kesalahan, Mbak? Atau Kania sudah bikin Mbak marah?"
"Ga ada yang salah. Kamu, Kania, Dava. Kalian tidak salah. Salahnya adalah kita pernah merencanakan perjodohan ini."
"Saya bingung, Mbak. Ayo Mbak, tolong ceritakan semuanya. Kita cari jalan keluar yang terbaik."
"Inilah jalan keluar yang terbaik untuk kita semua!"

To Be Continued . . .


Umi Yanti
7 September 2014
Read the rest ^,^

Sabtu, 06 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : VI

Selang beberapa saat Kania tersadar bahwa saat ini mereka sedang melalui jalan yang bukan mengarah ke rumahnya. Kania berhenti menangis. Ia menghapus air matanya. Melepas pelukannya.

"Dava, kita mau ke mana? Ini kan bukan jalan ke rumah."

Tapi Dava ak membalas ucapan Kania.

Matahari sudah tidak terlalu terik lagi. Angin mulai membelai sisa rambut Kania yang tidak masuk ke dalam helm. Kania hanya menatap jalanan di sekitarnya. Ia mulai menyadari sesuatu.

"Nah, ayo turun." ucap Dava kemudian.
"Ngapain lu ngajak gue ke sini? Gue mau pulang!"
"Sini." ajak Dava sambil menarik pergelangan tangan Kania.

Saat ini mereka sudah berada di bibir pantai. Keduanya berdiri menghadap ombak pantai yang sedang menari-nari. Kania menghela napas panjang. Mencoba menikmati suasana pantai yang indah ini. Menghirup udara segar. Lalu Dava memegang kedua pundak Kania sehingga posisi mereka berhadapan. Dava menurunkan tangannya secara perlahan sambil menelusuri tangan Kania. Kemudian berhenti tapat di telapak tangan Kania dan menggenggamnya erat.

"Gue bodoh." ucap Dava sambil menunduk.

Kania hanya mengernyitkan dahinya.

"Gue keterlaluan sudah membuat seseorang nangis gara-gara gue. Dan parahnya ternyata gue baru sadar kalo gue sayang sama dia. Dia yang selalu ada di samping gue. Dia yang tidak sempurna tapi mampu membuat hidup gue terasa sempurna." lanjut Dava masih menunduk.
"Maksudnya Ratu?" tanya Kania menahan rasa sakit di dadanya yang tiba-tiba muncul.
"Bahkan orang itu ga sadar kalo dia yang gue maksud. Dia itu adalah lo, Kania. Tetangga gue, teman gue sejak kecil. Lo." ujar Dava sambil mendongakkan kepalanya.

Kania terkejut. Mata mereka beradu. Mata Kania berubah sendu. Kania melepaskan genggaman Dava.

"Gue terlambat ya?" tanya Dava.
"Ga pernah ada kata terlambat jika itu menyangkut masalah hati. Gue juga baru sadar kalo lo lebih dari sekedar si alis tebal yang nyebelin." senyum Kania mengembang.

Dava menarik badan Kania ke dalam pelukannya. Dava membelai lembut rambut Kania, mengusap punggungnya, dan mencium keningnya. Kania tertawa bahagia. Dava menyapu air mata Kania. Kania pun mengelus pipi kiri Dava. Mereka tertawa.

Matahari hampir tenggelam. Saat hendak meninggalkan pantai tiba-tiba Kania bertanya,
"Kenapa lo bawa gue ke pantai ini?"
"Karna pantai ini pernah dan akan menjadi tempat kenangan kita."
"Pernah? Akan?" tanya Kania tak mengerti.
"Dulu orangtua kita menjodohkan kita di sini. Dan tadi gue berpikir akan ungkapin perasaan gue ke lo di sini karna gue tau lo pasti akan nerima gue. Dan sekarang terbukti." ucap Dava percaya diri.
"Ah, gila! Pe-de banget lo! Siapa yang terima lo?" ledek Kania.
"Loh? Gue kira tadi itu lo nerima gue." Dava melangkah cepat menginggalkan Kania.

Kania mengejar Dava sambil tertawa akibat tingkah Dava yang menurutnya seperti anak kecil. Kania memeluk Dava dari belakang.

"Kok ngambek sih? Gue cuma bercanda kok." Kania mencium punggung Dava.
Dava membalikkan badannya. "Dasar Kania yang gemesin!"

Dava mencubit pelan hidung mancung Kania. Lalu Ia mencium pipi kanan Kania. Kania hanya tersipu malu sambil menatap dalam kedua mata Dava.
******

Malamnya Dava pamit kepada Mamanya untuk mengajak Kania jalan-jalan. Saat ini Papa Dava sedang keluar kota. Bisnis yang ia lakukan mengharuskannya meninggalkan keluarganya hingga 2 minggu ke depan.

"Sayang, pulangnya jangan terlalu malam ya. Jagain Kania." Pesan Mama Dava.

Dava menjemput Kania. Ternyata Mama Kania belum pulang ke rumah karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Dava mengajak Kania ke toko hewan yang berada di dekat taman kota. Ketika memasuki toko itu Kania terlihat takjub. Ada banyak jenis kucing, kelinci, dan anjing di sana. Saat ini toko sedang sepi dan biasanya akan ramai pada pagi dan siang hari. Pemilik toko itu pun terlihat ramah.

Kania berjalan perlahan sambil memperhatikan hewan-hewan yang ada di dalam kandang itu. Lalu ia berhenti tepat di depan salah satu kandang kucing. Ia membungkukkan badannya untuk melihat kucing itu.

"Kucing itu namanya Russian Blue." ucap Dava dari belakang.

Kania menoleh pada Dava dan kembali memperhatikan kucing bermata hijau itu. Dava ikut membungkukkan badannya.

"Russian blue ini terkenal cerdas, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan tenang. Dia juga cenderung pemalu terhadap orang asing. Tapi kucing ini sangat setia pada tuannya. Oleh karena itu, menurut gue Russian blue cocok banget dijadikan peliharaan." terang Dava.
"Waah, ternyata lo tau banyak ya tentang kucing ini." puji Kania.
"Hehe, ga juga sih. Eh, lo mau kucing ini?"
"Mau sih, tapi Mama kan alergi sama kucing. Lagian gue juga kayanya ga bisa ngerawat nih kucing, takutnya nanti ga keurus."

Mereka pun melanjutkan untuk melihat hewan-hewan yang lain. Setelah puas melihat-lihat mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran bintang lima. Jam tangan Dava telah menunjukkan pukul 9 malam.

"Udah jam 9 nih. Kita pulang yuk." ajak Dava.
"Oke. Bentar, gue abisin dulu minumannya."

Dava pun memanggil waitress lalu membayar bill. Kania menggandeng tangan Dava lalu berjalan keluar.

Mama Kania telah tiba di rumah. Ia terlihat kelelahan. Ia duduk di atas sofa lalu meletakkan tasnya di atas meja. Mama Dava melihat mobil telah terparkir di halaman rumah Kania. 'Mama Kania sudah pulang' batinnya. Lalu Ia berjalan keluar rumah hendak menemui Mama Kania.

Sesampainya di rumah Kania, Mama Dava langsung mengetuk pintu.

"Mbak. Mbak." panggil Mama Dava.

Namun tidak ada jawaban. Mama Dava mulai khawatir. Mengapa tak ada jawaban? Tak mungkin Mama Kania sudah tidur, lampu ruang tamu saja masih terlihat menyala. Mama Dava memegang gagang pintu ternyata tidak terkunci.

"Ya ampun, Mbak!" jerit Mama Dava melihat keadaan Mama Kania.

Ia segera merangkul dan membopong badan Mama Kania ke kamar. Wajah Mama Kania terlihat pucat sekali. Mama Kania pun ditidurkan di atas kasurnya. Mama Dava pergi ke dapur. Mama Dava kembali ke kamar itu sambil membawa secangkir teh hangat dan meminumkannya pada Mama Kania.

Lambat laun kondisi Mama Kania mulai membaik. Wajahnya tak sepucat beberapa menit yang lalu. Keduanya tersenyum.

"Mbak, kok bisa sih seperti ini?" Mama Dava terlihat khawatir.
"Sepertinya saya kelelahan. Maaf ya sudah bikin repot."
"Ah, gapapa kok."

Saat sedang melemparkan pandangan ke sekeliling kamar Mama Kania, ia menemukan foto keluarga Kania yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidur Mama Kania. Ia kemudian mengangkatnya untuk melihat lebih jelas. Di foto itu ada Kania, Mamanya, dan Papanya. Saat memperhatikan wajah Papa Kania, Mama Dava nampak terkejut. Tiba-tiba air mata Mama Dava menetes. Lalu ia pergi dari kamar itu tanpa pamit.

"Mbak? Kenapa?" teriak Mama Kania melihat kepergian sahabatnya itu.

Mama Dava tak menghiraukan panggilan Mama Kania. Ia berlari dan kembali ke rumahnya. Kemudian masuk ke dalam kamarnya. Tangisnya pun semakin jadi. Bahkan ia merasa tak kuat lagi untuk melangkah sehingga ia terduduk di balik pintu kamarnya. Ia menyenderkan tubuhnya di pintu itu.

"Mas Surya..." ucap wanita paruh baya itu sambil terisak.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
6 September 2014
Read the rest ^,^

Jumat, 05 September 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : V

Pria berusia 20 tahun itu mengingat kejadian 2 bulan yang lalu. Hari di mana orangtuanya memutuskan untuk menjodohkan dirinya dengan Kania, tetangga sekaligus teman kecilnya. Di foto yang sedang ia pegang sekarang terlihat jelas keceriaan di wajah Kania. Dava pun mengelus lembut foto itu.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Mata Dava sudah memerah. Tugas kuliah yang ia kerjakan sedari tadi telah selesai. Dava merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia menarik selimut dan langsung memejamkan matanya.
******

Matahari belum menampakkan sinarnya. Namun Dava sudah terbangun dari tidurnya.  Ia keluar dari kamarnya dan segera menuju ruang tivi.

"Pagi Pa, Ma." sapa Dava pada kedua orangtuanya yang sedang asyik menonton berita pagi.
"Pagi, sayang." ucap Mama lembut.
"Dava, hari ini kamu ke kampusnya bareng Kania ya. Mama Kania sedang ada pekerjaan, jadi ga bisa mengantar Kania." ujar Papa Dava.
"Oh, oke deh. Nanti Dava bakalan jemput Kania."

Lalu Dava pun mengambil beberapa potong roti yang ada di atas meja. Setelah makan, ia pun kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke kampus.

Dava mengeluarkan motornya dari garasi lalu tak lupa ia menjemput Kania. Dava mengetuk rumah Kania.

"Kania." panggil Dava.
"Iya." terdengar suara dari dalam rumah.

Pintu pun terbuka dan munculah Kania yang sudah berpakaian rapih lengkap dengan tas ransel dan sepatu kets biru.

"Kan, mama lu udah pergi ya?"
"Iya. Jam setengah 7 tadi udah berangkat." sahut Kania sambil mengunci pintu rumahnya.

Beberapa saat kemudian Kania dan Dava sudah berada di atas motor. Keduanya pun memakai helm dan segera meluncur meninggalkan rumah Kania. Di perjalanan, Kania ragu untuk memegang pinggang Dava. Kania hanya memegang jaket yang Dava kenakan.

"Udah deh, jangan kaya gitu pegangannya. Bener-bener dong. Gapapa, pegang aja pinggang gue daripada entar lo jatuh." kata Dava membuyarkan keraguan Kania.

Kania pun memegang pinggang Dava. Tiba-tiba tangan kiri Dava menarik tangan kanan Dava agar Kania memegang lebih erat pinggang Dava, tidak, tepatnya memeluk pinggang Dava. Jantung Kania berdetak tak beraturan. Ia merasa gugup dan kikuk. Matanya memandang punggung Dava.

20 menit berlalu. Akhirnya mereka tiba di kampus. Dava memarkirkan motornya. Dava dan Kania melangkah bersama menuju fakultas mereka.

"Makasih ya Dava." ucap Kania.
"Ya, sama-sama." balas Dava sambil menoleh ke wajah Kania.

Mereka pun berpisah dan menuju kelas masing-masing. Ketika sampai di depan kelas Kania masih terlihat linglung. Ia merasa aneh. 'Gue kenapa sih?' batin Kania pada dirinya sendiri. Suasana kelas Kania tampak ramai. Kania segera duduk di kursi yang kosong. Tak lama kemudian dosen pun memasuki kelas dan kuliah pun langsung dimulai.

Kania melihat jam tangannya. Pukul 10:15 menit. Setelah dosen keluar, teman Kania yang bernama Lily menghampiri Kania.

"Hei! Gue perhatiin dari masuk kelas sampe sekarang kok lo diem aja?" tanya gadis manis berkulit coklat itu.
"Apaan? Perasaan gue biasa aja kok."
"Alah. Ga usah bohong deh. Gue udah kenal lo dari SMA, gue tau pasti ada apa-apa nih!"
"Gimana ya, Ly? Gue juga ga ngerti..."
"Maksud lo?"

Kania pun menceritakan apa yang ia rasakan kini. Lily mendengarkan curhatan Kania dengan seksama. Ia selalu berdehem dan beroh ria sambil diselingi anggukan pelan.

"Menurut gue, lo mulai ada rasa deh sama dia." ucap Lily diakhir cerita Kania.
"Ya ampun! Mana mungkin! Lo ada-ada aja deh." Kania tak mempercayai ucapan Lily.
"Eh, lo kan udah kenal dia sejak kalian masih ingusan, mana mungkin ga ada rasa. Asal lo tau ya, cewek dan cowok itu ga bisa temenan. Sekalinya mereka temenan, bakal muncul rasa sayang atau lebih tepatnya mungkin cinta. Baik itu dirasain oleh si cewek atau si cowok bahkan keduanya." jelas Lily panjang lebar.

Kania hanya terdiam mendengar pendapat temannya itu.

"Kania! Kok lo malah diem? Jangan-jangan..." Lily pun mencolek pipi Kania.
"Idih! Apaan sih? Tau ah! Yuk kita ke kantin, gue udah laper nih. Tadi pagi ga sempat sarapan." ajak Kania lalu menggandeng tangan Lily.

Sesampainya di kantin Kania dan Lily segera memesan makanan dan minuman. Dengan lahap Kania memakan apa yang ia pesan. Usai makan Kania mengeluarkan sebungkus kecil kacang mede favoritnya dari dalam tas. Ia kemudian memakan kacang itu sebagai pencuci mulut.

Beberapa waktu kemudian Kania dan Lily kembali ke kelas. Mata kuliah kedua dilalui Kania dengan lancar. Lalu ia mencari Dava untuk pulang bersama sesuai janji Dava tadi pagi. Setelah beberapa kali keluar masuk kelas namun tak berhasil mencari orang yang ia cari, Kania pun memutuskan untuk bertanya pada teman-teman Dava yang sedang asyik mengobrol di dekat tangga.

"Permisi, kak. Mau nanya nih. Liat Dava ga?" tanya kania dengan sopan.
"Oh, dia ada di dekat loker tuh." jawab seorang cowok bertubuh tegap itu sambil menunjuk arah loker.
"Makasih, kak" Kania pun berpamitan.

Dengan jengkel Kania berjalan menuju loker. 'Dasar alis tebel! Gue udah capek-capek nyariin dia, eh dianya ga ada di kelas. Ga taunya di loker!' omel Kania dalam hati. Langkah Kania terhenti ketika ia melihat 2 sosok yang sedang berbicara dengan raut wajah serius dan tampak keduanya sedang bergenggaman tangan. Kania langsung membalikkan badannya dan melangkah cepat meninggalkan 2 orang itu.

"Kania!" teriak Dava lalu melepaskan tangan wanita itu.
"Tunggu." kata wanita itu.
"Maafin gue, Nabila. Gue ga ada rasa sama lo. Maaf."

Dava meninggalkan wanita yang diketahui bernama Nabila itu. Ia mengejar Kania. Entah apa yang Dava rasakan, ia hanya tak ingin Kania salah paham dengan apa yang ia lihat barusan. Dengan sigap Dava meraih tangan Kania dan membawanya ke parkiran motor.

"Lepasin gue! Gue mau pulang sendiri" Kania mencoba memberontak.
"Diem! Lu harus pulang sama gue!" Dava meninggikan suaranya.
"Tapi gue ga mau!"
"Gue ga peduli. Lu tanggung jawab gue."

Dava memasangkan helm di kepala Kania. Kania tak melihat wajah Dava. Ia terlihat menahan tangis.

"Entah apa yang lo rasain sekarang, gue ga mau tau. Yang penting sekarang lo harus pulang sama gue. Nanti gue jelasin."

Dava menyalakan motornya. Dava yang sudah duduk di atas motor menunggu Kania untuk ikut naik. Kania pun duduk di belakang Dava. Mereka tak bersuara. Tak lama kemudian tangis Kania pun pecah. Butiran hangat jatuh dari kedua mata indah Kania. Ia menangis di atas punggung Dava. Air mata Kania mulai membasahi jaket coklat Dava sambil memeluk erat Dava.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
5 September 2014
Read the rest ^,^