Kamis, 28 Agustus 2014

New Journey at College

Assalamualaikum teman-teman.

Alhamdulillah sekarang aku sudah ganti status sebagai mahasiswi di universitas bergengsi di sumatera selatan loh 😄

Yap, aku menjadi salah satu bagian dari Universitas Sriwijaya (Unsri). Aku memilih jurusan Sistem Komputer (SK) di Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) melalui jalur SNMPTN. Ga kerasa aku sudah berada di semester 3. Kampusku berada di Indralaya, Ogan Ilir. Setiap hari nya aku PP dari Palembang - Indralaya (Layo) dan sebaliknya dengan jarak tempuh 1 - 2 jam menggunakan bis kuning atau trasmusi. Kata orang anak PP itu strong, karena kami harus 'berebut' transportasi untuk bisa ke kampus yang antriannya super padat dan harus pintar mencari celah agar tidak terlambat tiba di Layo. Belum lagi harus siap menghadapi debu jalanan, jalanan berlubang, bis yang terkadang mogok dan kemacetan. Bahkan aku pernah terjebak macet di jalan hingga malam (selesai kuliah jam 3 sore). Tapi ya itulah resiko yang harus ditanggung jadi anak PP dan pasti akan jadi pengalaman tak terlupakan 👌

Kuliah juga membuatku mengenal dunia lebih luas dan tentunya teman-teman baru. Biasanya aku hanya mengenal teman yang berasal dari Palembang saja dan beberapa dari Jawa (Sarah contohnya, temanku sejak SMP). Sekarang aku bertemu dengan teman-teman yang lahir dan besar di berbagai daerah, seperti Lahat, Baturaja, Banyuasin, Lampung, Jakarta dan masih banyak lagi. Menyenangkan rasanya bisa mengenal mereka, mulai dari bahasa yang berbeda, logat pun berbeda dan sifat yang berbeda. Selain belajar, kami juga terkadang menghabiskan waktu bersama di kantin atau melakukan kegiatan lain. Saat musim durian, kami membeli durian yang dijual di luar pagar Unsri.


Dela, Elfa, Yudha, Kusuma, Aceng
Andhika, Sri, Suci, (Aku), Erick



Foto di atas merupakan teman-teman sekelasku, ada Dhika, Yudha, Aceng, Erick, Suci, Yani, Kusuma, Elfa dan Dela. Dhika adalah ketua angkatan jurusan SK 2013 dan merupakan sosok yang bertanggung jawab, pemberani, ceria dan enak diajak bertukar pikiran.


Fepi, (Aku), Eko, Dede, Ulan, Dela, Ojik, Ilham, Elfa, Dwi, Rio
Andini, Ryan, Suci

Kuliah di jurusan SK mengharuskan kami membuat projek akhir semester hampir di seluruh mata kuliah. Projek akhir itu biasanya berkelompok, terkadang hanya 3 orang per kelompok hingga 8 orang per kelompok. Menurutku hal ini sangat bagus, karena kami dapat menerapkan ilmu teori yang diberikan oleh dosen (selain di praktikum) dan melatih kerja sama kelompok. Kami harus pintar membagi waktu untuk kuliah, membuat tugas dan menyelesaikan projek yang biasanya diberikan pada tengah semester. Memang melelahkan, namun ketika berhasil menyelesaikan projek tersebut, kemudian mempresentasikannya ditambah lagi mendapatkan nilai sangat baik, semua itu menjadi tidak sia-sia dan terbayarkan 💓

Suci, (Aku), Andini
(Aku), Nova, Indah, Elfa

Kami juga pernah mengikuti seminar di luar lingkungan unsri untuk mata kuliah kewirausahaan dan menampilkan tarian tradisional untuk mata kuliah seni budaya. Untuk persiapannya kami diberi waktu kurang lebih 3 bulan. Dan semua kelompok sukses melakukan penampilan terbaik.

Itulah beberapa ceritaku di perjalanan baru ini, untuk teman-teman yang juga sedang kuliah terus semangat ya, semoga kita dapat melaluinya dengan baik dan tentunya menjadi cerita tersendiri suatu hari nanti :)
Read the rest ^,^

Rabu, 20 Agustus 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : IV

Dengan rasa tidak enak akhirnya Mama Dava bertanya. Ternyata alasan mengapa tidak ada foto sang Papa di ruang tamu adalah karena Mama Kania tidak ingin orang-orang yang datang ke rumahnya menanyakan tentang Papa Kania. Ia tidak ingin tiba-tiba kembali merasa sedih jika teringat suaminya itu. Seperti luka lama yang telah kering lalu terbuka lagi hanya karena rasa penasaran mereka terhadap kematian suaminya. Suasana berubah sunyi. Mama Dava mencoba menghibur sahabatnya itu.

Dari luar terdengar suara klakson mobil di depan rumah Dava. Dengan cepat Mama Dava keluar dan diikuti oleh Mama Kania. Sosok gadis yang mengenakan baju pink polos dan rok bunga-bunga turun dari mobilnya. Dengan penuh harapan Ratu mendekati Mama Dava yang sekarang sedang berdiri di dekat pagar rumah Kania.

"Selamat siang, Tante." sapa Ratu.
"Siang. Kamu cari Dava?" tanya Mama Dava.
"Iya, Tan. Mau ngajak Dava jalan-jalan. Davanya ada?"
"Sayang sekali. Dava dari tadi pagi udah pergi sama Kania."
"Kania?"
"Kania itu sahabat Dava dari kecil. Ini Mamanya Kania."
"Oh, siang, Tante. Saya Ratu." Ratu memperkenalkan diri.
"Mamanya Kania." ucap Mama Kania ramah.

Setelah itu Ratu pamit pulang. Di dalam mobilnya merasa khawatir. Dia takut jika Dava memiliki hubungan khusus dengan Kania. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. 'Tenang Ratu. Mereka cuma sahabat. Ga lebih.' gumam Ratu. Namun tetap saja pikiran aneh muncul di otaknya.

Ratu berhenti di sebuah restoran cepat saji. Ia mengantri sebentar di kasir, memilih makanannya dan duduk di meja nomor 10. Saat hendak mencuci tangan di wastafel, matanya tertuju pada 2 orang yang sedang bercanda di meja yang terletak tidak jauh dari mejanya tadi.

"Dava!" seru Ratu ketika tiba di meja nomor 15.
"Ratu?"
"Aku tadi ke rumah kamu, tapi kata Tante kamu pergi. Padahal aku mau ngajak kamu jalan-jalan, seperti kemarin." ujar ratu sambil melirik Kania.
"Oh iya, kenalin ini Kania. Kania ini Ratu, anaknya temen Papa." Dava mengalihkan perhatian.
"Kania."
"Ratu."
"Kami duluan ya. Takut kesorean. Kasian Kania udah capek. Sampai jumpa"

Kania dan Dava keluar dari restoran. Ratu hanya terdiam di dalamnya. Kania menoleh ke arah ratu yang sedang memperhatikan mereka. Kania pun tersenyum begitupun dengan Ratu. Kania merasa ada yang tidak beres. Dava memberikan helm kepada Kania. Di tengah perjalanan Kania mendekatkan kepalanya dengan telinga Dava yang tertutup helm.

"Eh, alis tebal. Ratu itu siapa sih? Kok dia ramah sama lu, tapi lu-nya malah kaya dingin gitu sama dia? Jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa? Dia itu cuma anaknya temen Papa. Aku aja baru kenal sama dia 2 bulan yang lalu." potong Dava.
"Oh..."
"Kenapa? Lu cemburu ya? Hahaha" terka Dava.
"Idih! Apaan sih lu? Enak aja!" jerit Kania.
"Kita ke taman dulu ya." ajak Dava.
"Loh? Bukannya lu tadi bilang mau langsung pulang?"
"Kan tadi ada Ratu, makanya gue langsung ajak lu pulang. Males banget deh kalo ada dia. Mau kan?"
"Ayo!" Kania meng-iya-kan.

Di taman Dava dan Kania melihat ada seorang penjual layangan. Dava membeli sebuah layangan besar berwarna hitam putih seperti papan catur. Lalu mereka menerbangkan layangan itu. Kania dan Dava tertawa lepas.

"Hebat juga si alis tebal. Gue kira lu ga bisa main layangan." ejek Kania.
"Dasar! Ujung-ujungnya ngatain." sahut Dava sambil mencolek pipi kiri Kania.
"Ih tangan lu! Ntar pipi gue kotor!"

Tahu Kania akan segera marah dan memukul dirinya, Dava segera memberikan layangan itu kepada seorang anak kecil dan berlari menghindari amukan Kania. Kania mengejar Dava sambil mengeluarkan sumpah serapahnya. Dava berlari dan menjulurkan lidahnya pada Kania yang tertinggal jauh di belakangnya.

Karena kelelahan berlari, Dava pun berhenti. kania menyusul dan Dava menerima pukulan pelan Kania di bahunya. Tiba-tiba kaki kanan Kania tersandung batu kecil.

"Aduh!" rintih Kania.
"Kenapa? Kaki lu terkilir?"
"Kayanya. Sakit, Dav."
"Lu sih, ngapain jalan-jalan pake wedges." omel Dava.

Dava memegang tangan Kania dan menggiringnya duduk di pinggir danau. Dengan panik Dava melepaskan sepatu Kania lalu mengurut kakinya.

"Gimana?"
"Udah mendingan. Makasih ya."
"Lu seneng banget sih bikin gue khawatir." ceplos Dava.
"Ha? Lu khawatir sama gue?"
"Yaa, maksud gue kalo ada apa-apa sama lu, Mama lu pasti sedih dan Mama gue bakalan marahin gue. Makanya gue khawatir."
"Oooh"

Dava berdiri. Ia memberi tangannya yang langsung disambut Kania. Mereka berjalan dengan pelan. Dava merangkul Kania untuk membantunya berjalan.
******

Pukul 5 sore di rumah Kania...

"Kania?" seru Mama Kania kaget melihat kondisi anaknya itu.
Kania hanya tersenyum kecil.
"Sayang, kamu kenapa?"
"Maaf, Tante. Kaki kanan kania terkilir waktu kami main di taman tadi." sesal Dava.
"Ya ampun. Kok bisa sih? Ya udah ayo masuk."
"Dava pamit pulang, Tante. Sekali lagi maafin Dava."
"Iya, ga papa, Dava. Ayo Kania." ucap Mama Kania.

Di rumah Dava...

"Dava." panggil Papa Dava.
"Ada apa, Pa?"
"Dari mana aja kamu? Kok baru pulang? Tadi Papa ketemu Ratu, katanya dia mau ngajak kamu jalan-jalan. Dia bilang kalian udah janjian, tapi kamu ga ada di rumah. Kenapa Ratu ditinggalin, kan kasian dia, Dava."
"Pa, tadi dava pergi bareng Kania. Kok Papa ngomong gitu sih? Bukannya Papa dan Mama jodohin Dava sama Kania? Tapi kenapa Papa malah deketin Dava sama Ratu?" tanya Dava bingung.
"Bukan gitu. Papa ga enak sama Papanya Ratu. Bentar dulu. Jangan-jangan kamu sama Kania..."
"Ga kok, Pa!" potong Dava.
"Udah ngaku aja. Papa dan Mama setuju kok. Ternyata rencana Papa, Mama, dan Mamanya Kania berhasil!"
"Udah ah, Dava mau ke kamar." Dava berlari kecil ke kamarnya.

Dava duduk di tempat tidurnya. Kemudian teringat pada kata-kata Papanya barusan. Ia tersenyum. Apakah mungkin Dava mulai suka pada Kania? Kalau iya, bagaimana dengan Kania? Apakah dia juga merasakan hal yang sama terhadap Dava? Jantung Dava mulai berdegup kencang. Ia merasa aneh.

Dava berdiri, lalu duduk kembali. Dia bingung harus melakukan apa. Dia belum mengetahui secara pasti tentang perasaannya pada Kania. Apakah ini cinta atau bukan? Lalu ia mengambil bingkai foto yang ada di dalam lemari kacanya. Ia memandangi foto itu. Foto dirinya bersama Kania ketika mereka di pantai.

To Be Continued . . .


Umi Yanti
20 Agustus 2014
Read the rest ^,^

Jumat, 08 Agustus 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : III

Hari mulai gelap. Lampu jalan telah hidup dan jalanan semakin ramai. Supir membelokkan mobil ke kiri untuk mengisi bahan bakar di SPBU. Dava memutuskan untuk keluar dari mobil dan berlari menuju toilet. Setelah keluar dari toilet ia tidak sengaja menabrak seseorang.

"Aw!"
"Ma, maaf." ujar Dava.

Wanita berpenampilan feminim yang ditabrak Dava itu hanya terdiam setelah melihat wajah Dava. Ia kemudian tersenyum. Dava tidak membalas senyum itu dan segera berlari menuju mobil. Mobil pun meluncur meninggalkan SPBU.
******

Keesokan harinya...

"Kania, Kania"
"Iya, iya. Tunggu."
"Yaelah, lama banget si lu? Kita ini mau jogging, gue  rasa lu ga usah dandan."
"Siapa juga yang dandan? Ga liat muka gue bahkan ga pake bedak. Gimana sih lu?"
"Eh? Iya juga ya. Gue kira lu dandan, abisnya tuh muka putih amat!"
"Apaan sih? Kan emang dari sananya muka gue putih, ga kaya lu item!"
"Idih nih bocah!" Dava pun mencubit hidung Kania.

Kania yang tidak terima dengan perlakuan Dava pun mengejarnya. Dava berlari sambil tertawa. Setibanya di taman mereka langsung istirahat karena kelelahan setelah berkejaran. Dava mengelap keringat di kening Kania. Kania memukul tangan Dava.

"Aduh! Kok dipukul?" rintih Dava.
"Lu ngapain pegang-pegang jidat gue?"
"Eh, gak usah GR! Jidat lu banyak banget keringatnya, gue risih tau liatnya!"
"Ngapain juga lu liatin jidat gue?" tanya Kania tak mau kalah.
"Haaah.Yaudah deh, maaf. Gue mau nanya nih."
"Apaan?"
"Lu itu kenapa sih ga mau panggil gue Abang atau Kakak atau apa kek? Gue kan lebih tua 2 tahun dari lu.."
"Hahaha, kirain mau nanya apa!"
"Kok malah ketawa? Jawab aja deh!"
"Hahaha. Ngapain gue panggil lu Abang atau Kakak? Emangnya lu siapa gue? Sejak pertama kali kita ketemu lu udah jailin gue, bikin gue nangis, bahkan lu ga mau nolongin gue..." Kania mengingat masa lalunya.
"Ya ampun, masih diinget juga. Gue minta maaf kali. Namanya juga masih anak-anak. Maafin dong." kata Dava sambil mengedipkan mata kirinya.
"Genit lu ah!"

Mereka pun mulai saling meledek. Setelah puas berolahraga mereka memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah Dava melihat ada mobil hitam yang terparkir di halaman rumahnya. Dengan sopan Dava masuk ke dalam rumahnya. Di sana ada sosok pria berusia sekitar 45 tahun bersama seorang gadis yang sedang asik mengobrol dengan orangtua Dava.

"Dava. Sini sayang. Kenalan dulu dengan teman Papa dan anaknya." ucap Papa Dava.

Dava pun menghampiri mereka.

"Dava, Om." Dava menjabat tangan pria itu.
"Dava." ucap Dava pada gadis berambut keriting itu.
"Ratu. Eh, bentar deh. Kayanya kita pernah ketemu. Di mana yaa... Oh di SPBU!" ucap gadis itu riang.
"Oh, iya.." balas Dava datar.
"Oh, jadi kalian sudah pernah ketemu? Kebetulan sekali." sambung Papa Dava.

Papa Dava menyuruh mereka untuk mengobrol di halaman belakang. Mama Dava hanya tersenyum tipis. Dava dan Ratu menghilang di balik tembok. orangtua mereka melanjutkan obrolannya yang sempat tertunda.

Dava mempersilahkan Ratu duduk di kursi berwarna putih yang berada tepat di depan kolam berenang. Ratu duduk dengan senyum manis. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Dava.

"Orang bilang kita bisa kebetulan bertemu dengan seseorang. Tapi, menurutku tidak ada yang namanya pertemuan secara kebetulan. Kita bertemu dengan seseorang pasti untuk sebuah alasan. Meski saat ini kita tidak tahu alasannya, suatu saat nanti kita akan tahu." ratu memulai.
"Ya." jawab Dava singkat.
"Maaf ya, gue mau ganti baju dulu. Gerah banget. Lu bisa balik ke depan." lanjut Dava.
"O oke."

Ratu berjalan dengan kecewa. Untuk pertama kalinya dia merasa diabaikan. Beberapa menit kemudian Ratu dan Papanya pamit pulang. Setelah Papa Ratu berjabat tangan dengan orangtua Dava, Ratu pun mencium tangan mereka dengan tersenyum manis. Ratu dan Papanya pergi meninggalkan rumah Dava.

"Dava" panggil Mama.
"Iya, Ma." Dava langsung keluar kamar.
"Kamu tadi ngobrol apa aja sama Ratu?" tanya Mama.
"Ga ngobrol apa-apa kok. Orang Dava tadi ganti baju terus baru sekarang keluar."
"Hem, kamu kayanya ga suka ya sama dia?"
"Apaan sih, Ma? Dava kaya diinterogasi deh." protes Dava.
"Udah jawab aja."
"Ya namanya juga baru kenal. Tapi Dava tadi sedikit jengkel aja sama dia. Sok dekat gitu sama Dava. Waktu di belakang tadi dia juga ngomong aneh."
"Apapun itu kamu harus inget, Mama dan Papa sudah jodohin kamu sama Kania. Tapi meskipun begitu bukan berarti kamu harus menghindar dari Ratu, karena bagaimanapun dia adalah anak tunggalnya teman sekaligus rekan bisnis Papa. Oke sayang?"
"Iya, Ma. Dava mau istirahat dulu ya, Ma. Capek banget abis jogging tadi."

Di rumah Kania...

Kania sedang duduk di kursi empuk berwarna pink di dekat jendela. Ia masih mengenakan kaos biru dan celana selutut yang ia kenakan ketika jogging bersama Dava tadi. Kania mulai melamun. Ia berpikir kenapa Dava sangat menyebalkan dan selalu membuatnya marah tapi terkadang Dava juga membuatnya tersenyum dan merasa nyaman.
******

2 bulan berlalu.

Saat ini Mama Dava sedang berkunjung ke rumah Kania. Di sana hanya ada sang Mama karena Kania sedang pergi bersama Dava. Mereka mencari buku untuk keperluan kuliah Kania.

Saat tengah asik mengobrol, tiba-tiba Mama Dava menyadari sesuatu. Setelah bertahun-tahun menjadi tetangga, mengapa baru sekarang ia menyadarinya? Di dinding ruang tamu itu tampak berbeda dengan rumah-rumah orang lain pada umumnya. Di sana tidak terdapat foto keluarga Kania. Yang ada hanyalah foto-foto Kania saat masih kecil hingga sekarang yang terletak di atas meja dan beberapa foto Mamanya, tanpa satu pun foto sang Papa.

To Be Continued . . .

Umi Yanti
8 Agustus 2014
Read the rest ^,^

Selasa, 05 Agustus 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : II

"Ngapain lu di sini?"
"Apaan sih lu? Orang kalo disapa tuh ya dijawab dong, kok malah dibentak?"

Orangtua Dava pun masuk ke dalam rumah Kania yang segera disambut oleh Mama Kania. Sementara itu Dava dan Kania masih berada di depan pintu.

"Eh, lu belom jawab!" sergah Dava.
"Iya! Haloooo Dava. Selamat pagi! Puas?!"
"Nah, gitu dong." Dava terlihat senang.
"Terus lu ngapain ke sini?" tanya Kania.
"Ga tau. Orangtua gue ngajak ke sini. Ga tau mau ngapain."

Tak lama kemudian Mama Kania dan orangtua Dava pun keluar sambil tersenyum.

"Ayo Kania, Dava."
"Loh? Kita mau ke mana Ma? Kok Dava diajak juga sih? Kalo Om dan Tante sih gapapa." ucap Kania sambil tersenyum ramah kepada orangtua Dava.
"Kan kita mau jalan-jalan, sayang." jawab Mama Kania.
"Udah ayo, ayo. Kita langsung pergi aja." ajak Papa Dava.

Kania dan Dava yang masih tidak mengerti masuk ke dalam mobil dengan tampang kebingungan.
Papa Dava duduk di samping supir, Mama Kania dan Mama Dava duduk berdua di kursi tengah, sedangkan Dava dan Kania duduk di kursi belakang. Mama Dava dan Mama Kania sibuk berbincang yang kerap diselingi tawa dan sesekali Papa Dava juga ikut tertawa. Kania dan Dava masih terdiam. Tiba-tiba Dava mulai menjahili Kania. Kania yang kesal pun langsung marah-marah dan cemberut. Dava hanya tertawa melihat Kania.

******

"Nah, kita sudah sampai." ucap Papa Dava.
"Pantai??? Asiiiik." seru Dava dan Kania bersamaan.
"Apaan lu ngikutin omongan gue?" kata Kania dengan galak.
"Yeee, siapa juga yang ngikutin lu? Pede amat." balas Dava sambil menjulurkan lidahnya.

Kedua orangtua mereka hanya tersenyum. Setelah semuanya turun dari mobil, Dava langsung menarik jepit kecil berwarna kuning di rambut Kania dan langsung berlari yang kemudian langsung dikejar oleh Kania. Mereka berkejaran hingga di pinggir pantai meninggalkan kedua orangtuanya yang masih berada di samping mobil.

"Dava, Kania, jangan jauh-jauh!" teriak Mama Dava.
"Udah, Ma. Biarin aja. Mereka kan sudah besar." timpal Papa Dava.

Di kejauhan...

"Dava berentiiii!!!!"
"Weeek, kejar gue terus kalo mau jepit ini balik ke elu!"
"Dasar alis tebal rese!"
"Hahaha, buruan dong larinya. Atau gue bakalan lempar nih jepit ke air."
"Jangan dong! Itu kan jepit dari Papa gue!"

Lalu Kania pun berhenti berlari. 'Itu jepit dari Papa gue' batin Kania. 'Jangan dibuang', lanjutnya.
Dava juga berhenti berlari. Ia pun mendekati Kania. Sekarang posisi mereka hanya berjarak setengah meter dari pinggir pantai. Air pantai mulai membasahi kaki mereka.

"Maafin gue, Kania." sesal Dava.
Kania hanya mengangguk dalam diam. Dava langsung memasangkan jepit itu di rambut Kania. Kania masih diam. Lalu...

"Nih..." tawar Dava sambil membuka genggaman tangannya tepat di depan wajah Kania.
"Kacang? Makasih Dava."

Kania pun mengambil sebungkus kecil kacang mede yang ada di tangan Dava. Membuka bungkusnya dan memakannya. Mereka pun duduk sambil melihat ombak. 10 butir kacang mede pun habis dilahap Kania. Kania menoleh pada Dava, begitupun Dava.

"Lu kenapa suka banget makan kacang?" tanya Dava.
"Mau tau aja sih lu!"
"Dasar!"

Mereka pun menghampiri orangtua mereka yang tengah duduk di atas tikar.

"Tumben kalian akur." kata Mama Kania.
"Tadi Dava kasih Kania kacang, Tan. Makanya dia diem kaya ini. Hahaha" ucap Dava.
"Apaan sih lu?" Kania memukul bahu Dava.
"Sakit tahu!" keluh Dava.
"Biarin, weeeek!"

Mereka berlima sarapan pagi bersama. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah 10. Bahkan saat sedang makan pun mereka masih terus saling meledek. Selesai makan Papa Dava mengajak mereka berlima untuk bicara serius.

"Dava, Kania... Papa, Mama dan Tante sudah sepakat." Papa Dava memulai.
"Sepakat apa, Pa?" tanya Dava.
"Sebenarnya sudah lama kami merencanakan ini sejak kalian masih SMP. Jadi, kami berniat untuk menjodohkan kalian berdua." lanjut Papa Dava.
"Apaaa??!" seru Kania dan Dava.
"Ga, Pa!"
"Kania ga mau, Ma." protes Kania.
"Tenang. Ini kan baru rencana. Keputusan ada di tangan kalian. Tapi, kami harap kalian mau mencoba dulu ya. Kita kan sudah saling mengenal cukup lama dan kami pikir kalian berdua cocok kok. Jadi, jalanin dulu ya. Kita liat selama 3 bulan ini. Kalo kalian merasa cocok kita lanjutin perjodohan ini, oke?" Mama kania menjelaskan dengan tenang.
"Iya, sayang. Mama juga udah anggap Kania sebagai anak sendiri kok. Kania itu manis, baik, ceria, pinter masak lagi. Menantu idaman banget deh." puji Mama Dava.
"Makasih, Tante." senyum Kania tersimpul.

Kania merasa senang. Ia menatap Dava dengan tatapan kemenangan. Telinga Dava pasti panas karena mendengar Mamanya memuji Kania. Dava hanya membalasnya dengan senyum mengejek. Selesai sarapan Dava dan Kania kembali bermain air. Kedua orangtua mereka melanjutkan perbicaraan mengenai perjodohan ini.

Langit mulai berwarna kekuningan pertanda sudah sore. Mereka pun memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang mereka berfoto bersama. Mereka berlima berfoto dengan senyum lebar dan tertawa riang. Setelah 3 kali berfoto bersama, orangtua mereka meminta Dava dan Kania berfoto berdua. Dengan terpaksa mereka menuruti kehendak orangtuanya. Namun hasilnya tidak ada yang menunjukkan keromantisan di antara keduanya. Di foto pertama, Dava tersenyum lebar sedangkan Kania cemberut. Di foto lainnya Kania tersenyum sedangkan Dava cemberut. Selanjutnya Dava dan Kania berhadapan sambil menjulurkan lidahnya dan membuat mata mereka juling. Dan di foto terakhir Dava menarik rambut Kania dan Kania terlihat kesal.

To Be Continued . . .

Umi Yanti
5 Agustus 2014
Read the rest ^,^

Minggu, 03 Agustus 2014

Segenggam Kacang Dava untuk Kania : I

"Alis tebal!"
"Bibir tipis!"
"Tebal!"
"Tipis!"
"Dasar nyebelin!"
"Lu yang lebih nyebelin!"

Braak!
2 pagar yang bersebelahan pun dibanting oleh 2 orang yang tidak pernah rukun itu.

"Kania..." panggil seorang wanita dewasa yang sedang menonton tivi di ruangan bernuansa hitam putih.
"Iya, Ma." jawab Kania lesu ketika memasuki rumah.
"Kamu kenapa sayang? Kok pagarnya dibanting gitu sih?"
"Ga papa kok, Ma. Kania ke kamar dulu ya."

Kania membuka pintu kamarnya lalu menutupnya dengan pelan. Ia mulai menghentak-hentakkan kakinya. Memukul boneka-boneka yang ada di atas meja segitiga kecil. Kemudian merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur bersprei merah muda. Kania pun berteriak, "Dasar alis tebal nyebeliiiiin!!!"

Mama yang mendengar teriakan itu hanya menggelengkan kepalanya. "Kania, Kania, hahaha..."

Sementara itu di rumah yang bersebelahan dengan rumah Kania...

"Ma, Pa. Dava pulang."
"Dava... Kok mukanya merah? Kamu lagi marah ya?"
"Biasa, Ma. Itu tuh, si Kania. Ga bisa diajak bercanda!"
"Oh Kania... Ah, paling kamunya kali yang keterlaluan bercandanya." ucap seorang wanita cantik berkulit putih.
"Mama kok belain Kania sih?!" Dava pun meninggalkan Mamanya.
"Ada apa, Ma?" tanya pria paruh baya berkumis.
"Biasa, Pa. Si Dava abis berantem dengan Kania."
"Oh... Mereka itu ga berubah yah. Udah besar juga masih aja kelakuannya kaya waktu mereka masih kecil."
"Hahaha, biarin aja, Pa. Lucu kok!"

Malamnya...

Kania sedang makan malam bersama Mama. Mama yang penasaran dengan sikap Kania sore tadi akhirnya bertanya.

"Sayang, kamu kenapa sore tadi? Kok marah-marah?"
"Gimana ga marah, Ma? Dava tuh nyebelin banget!"
"Emang dia ngapain?"
"Waktu di kampus tadi, ternyata dia itu kakak tingkat Kania yang kebetulan jadi panitia ospek. Eh, aku ga ada salah apa-apa malah dikerjain sama dia!" jelas gadis berusia 18 tahun itu.
"Kamu diapain?"
"Aku disuruh lari keliling lapangan 2 kali, mana cuaca lagi terik. Kalo aku pingsang gimana?"
"Hmm... Yaudah sayang. Yang penting sekarang kamu kan ga apa-apa. Masih sehat." ucap Mama sambil tersenyum.
"Tapi kan ga adil banget, Ma. Apa coba maksud dia kaya itu?"
"Dia cuma iseng mungkin. Udah maafin aja. Oh ya, besok kita jalan-jalan yuk. Ospek kamu kan udah selesai dan besok libur."
"Serius? Wah asik! Mauuuu!" teriak Kania bersemangat.

Selesai makan Kania kembali ke kamarnya. Ia merasa sangat kelelahan. Setelah 4 hari menjalani opsek sebagai mahasiswa baru, akhirnya besok ia dapat berlibur. Rasanya sungguh tidak sabar untuk bisa jalan-jalan bersama Mamanya.

Kania hanya tinggal bersama Mamanya. Mama berprofesi sebagai seorang desainer. Sedangkan Papa Kania telah lama meninggal dunia. 8 tahun setelah kepergian sang Papa, Kania dan mamanya pindah ke rumah yang sekarang mereka tempati. Rumah Kania bersebelahan dengan rumah Dava. Meskipun telah bertetangga selama hampir 7 tahun, mereka tidak pernah akur. Selalu ada saja hal yang mereka ributkan. Baik Mama ataupun orang tua Dava hanya bisa tertawa melihat kelakuan mereka.
******

Suara burung berkicauan. Sinar matahari mulai menyinari kamar Kania. Tepat pukul 6 pagi Kania terbangun. Dengan semangat dia bergegas ke kamar mandi. Ia merasa sangat senang karena akan menghabiskan waktunya bersama Mama.

Selesai mandi Kania mencari Mama yang ternyata telah menunggu di ruang tivi. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk.

"Siapa sih pagi-pagi udah bertamu?" gerutu Kania.
"Kok ngomong gitu sayang? Ayo buka pintunya."

Beberapa langkah kemudian Kania tiba di depan pintu. Dengan perlahan Kania membuka pintu sambil memaksakan senyum. Kania merasa kesal karena ada orang yang bertamu sepagi ini padahal ia dan Mama hendak pergi.

"Eh, Om, Tante. Mari masuk..." ujar Kania terbata-bata.
"Halo Kania" sapa pria berkulit cokelat yang memakai kaos hitam.
"Ha? Dava! Ngapain lu di sini?" ucap Kania dengan nada jengkel

To Be Continued . . .

Umi Yanti
3 Agustus 2014
Read the rest ^,^

Mikirin Judul

Seperti di postingan sebelumnya, saat ini otak saya sedang dialiri oleh banyak ide. Alhamdulillah, akhirnya cerbung Bawalah Aku ke Hatimu udah ga To Be Continued alias udah The End alias Tamat alias Selesai! Wuaaah seneng banget rasanya ^^ Kalo ga percaya ayo silahkan di cek :p

Sekarang saya masih libur loooh! Inget, saya bukan anak SMA lagi, saya udah kuliah. Jadi jadwal masuknya sedikit berbeda dengan anak SMA, SMP, SD, apalagi TK hehe... Kuliahnya udah masuk semester 3 nih. Mohon doanya ya, supaya kuliahnya lancar :) #eh, kok malah ngomongin kuliah sih? Ga papa yaa. Amin-in aja, oke? :*

Karena masih libur dan ide banyak bermunculan, akhirnya saya memutuskan untuk membuat cerbung ke-7 (insya allah). Semalam alur cerita untuk cerbung yang baru ini udah ada dan fix. Eh, pagi tadi pas lagi mandi tiba-tiba kepikiran dengan alur ceritanya. Alhasil terjadi perombakan di sana-sini, sehingga jalan ceritanya sedikit berubah. Siangnya udah mulai nulis. Daaaan bagian pertama udah selesai, yeaaaah! Tapi belom diposting... Kenapa? Karena aku bingung mau kasih judul apa hohoho :3  Susah banget nentuin judulnya, dari tadi mikir tapi belom ketemu-ketemu juga huuuft!

Nah, sambil mikirin judulnya, saya pun memutuskan untuk buat postingan ini :D #apaansih
Oh ya, jadi cerbungnya itu menceritakan tentang cewek dan cowok yang merupakan tetangga bersebelahan rumah. Mereka itu terpaut usia 2 tahun dan ga pernah akur (kaya kucing dan anjing). Kemudian kedua orang tua mereka berniat untuk menjodohkan mereka berdua. Sudah bisa ditebak mereka pasti ga setuju dengan ide gila orang tuanya. Lambat laun cinta pun muncul di antara mereka berdua. Namun, di saat cinta mulai mewarnai hidup mereka, tiba-tiba salah satu orang tua dari mereka malah membatalkan perjodohan itu! Mau tau alasannya??? Mau tau kelanjutan hubungan mereka? Nanti aja yaaaa... Ikutin deh ceritanya ;)

By the way, judulnya masih belom ketemu nih :(
Uuuh apa yaaa??? Binguuuung!
Pokoknya kalo judulnya udah dapet, langsung saya post cerbungnya.
See you :3
Read the rest ^,^

Sabtu, 02 Agustus 2014

Bawalah Aku ke Hatimu : Ending

Awan berwarna kelabu. Langit terlihat mendung. Dedaunan bergoyang tertiup hembusan angin.
Audrey menatap dirinya di cermin. Berjalan keluar kamar. Mengunci pintu rumah. Menaiki taksi yang menuju bandara. "Tunggu aku di sana, aku akan segera tiba." ucap Audrey pada Isabel melalui handphonenya.

15 menit kemudian...

"Isabel..."
"Audrey..."
"Aku mohon, tinggallah di sini."
"Kau tahu, itu adalah keinginan terbesarku. Tinggal di Indonesia dan melihat pria yang telah kucintai selama beberapa tahun ini. Tapi, sungguh menyakitkan setiap kali aku melihat pria itu bersama wanita lain."
"Jangan pergi dan carilah pria lain. Seorang Isabel sungguh sempurna. Pasti banyak pria di luar sana yang mengharapkan cintanya."
"Kita hanyalah manusia biasa. Ketika kita ada masalah, kita akan dihadapkan pada 2 pilihan. Maju atau mundur. Dan saat ini aku memilih untuk mundur. Aku lelah. Aku juga ingin merasakan bahagia."

Audrey langsung memeluk Isabel. Cairan hangat di pelupuk matanya tumpah. Menangis dalam diam. Bersedih atas keputusan sahabatnya itu.

"Maafkan aku Isabel.."
"Sudahlah, jangan menangis. Mana mungkin aku berada di antara kalian. Menjadi seorang wanita dan sahabat. Mana mungkin aku bisa menjalani 2 peran sekaligus. Sangat menyakitkan."

Audrey melepaskan pelukannya. Menatap erat mata Isabel.

"Ketika rasa sakit itu hilang maka kembalilah. Aku akan menunggumu." Audrey tersenyum.
Isabel hanya mengangguk. Lalu Isabel melihat jam tangannya.

"Sudah waktunya, selamat tinggal Audrey."
"Aku akan merindukanmu."

Isabel berjalan meninggalkan Audrey.

Tiba-tiba Isabel berhenti melangkah. Menoleh ke arah Audrey. Dan terdiam. Memandang wajah seorang sahabat yang sekarang berjarak  5 meter darinya.

"Saat ini aku memang memilih mundur dan pergi. Namun, akan tiba saatnya aku kembali dan melangkah maju." kata Isabel di dalam hati.

Keduanya melemparkan senyum. Isabel berbalik dan kembali melangkah meninggalkan Audrey.
******

Tok! Tok! Tok!

"Iya, sebentar." ucap Ayu lalu membuka pintu.
"Selamat siang." pria tinggi berjambul itu tersenyum riang.
"Danar! Ayo masuk. Silahkan duduk. Kakak panggil Audrey dulu ya."

Beberapa menit kemudian Audrey muncul. Matanya membesar melihat sosok pria berkemeja biru muda yang sedang duduk di sofa. Sang pria pun berdiri. Ia menghampiri Audrey.

"Aku telah mengambil keputusan. Aku sudah memikirkannya selama 2 tahun sejak aku terbangun dari koma."
"Apa?" tanya Audrey.

Danar pun mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya. Membuka kotak itu dan berkata, "Menikahlah denganku, Audrey."

Audrey menggigit bibir bawahnya sambil menahan senyum.
 Danar dan Audrey berpelukan. Audrey menghela napas panjang. Ia merasakan kelegaan.
Akhirnya semua ini berakhir. Penderitaan, kesedihan, tangisan akan sirna. Kebahagiaan akan segera menghampiri mereka.

"Tunggu dulu. Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Hahaha... Iya, Danar. Bawalah aku ke manapun kamu pergi. Bawalah aku ke hatimu."

Audrey mencubit pipi Danar. Danar pun mencium kening Audrey dalam dekapannya.

~ The End ~


Umi Yanti
2 Agustus 2014
Read the rest ^,^

Jumat, 01 Agustus 2014

Bawalah Aku ke Hatimu : IX

"Universitas Stanford?!" Audrey terperangah.
Audrey bingung. Merasa tak percaya dan khawatir. Ia tak mengedipkan matanya. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ada sesuatu yang membuatnya sedih. Hatinya mulai kacau.

"Iya, Universitas Stanford. Haruskah kuulang untuk ketiga kalinya?" jawab Isabel tenang.

Audrey hanya diam. Menatap Isabel lalu beralih ke Danar. Masih diam.

"Bukankah itu kabar baik? Aku akan ke luar negeri. Berkumpul dengan orangtua dan kakakku. Tinggal bersama orang-orang yang menyayangiku, sangat menyayangiku." Isabel kembali bersuara.

Audrey dan Danar masih terdiam. Mata Danar kembali berkaca-kaca. Isabel memaksakan senyum pada keduanya. Kakinya mulai melangkah hendak meninggalkan mereka. Audrey meraih tangan kiri Isabel.

"Di sini juga ada orang yang menyayangimu. Sahabatmu..." ucap Audrey sambil menggenggam tangan Isabel dan menatap punggungnya penuh arti.

Isabel melepaskan genggaman Audrey dengan lembut dan masih membelakangi Audrey. Lalu ia pun kembali melangkah dan benar-benar keluar dari ruangan itu. Audrey dan Danar yang masih terkejut dengan ucapan Isabel hanya bisa diam terpaku melihat kepergian wanita yang memakai kemeja bunga-bunga berwarna putih-biru itu.
******

"Gak. Aku ga bakal melepaskan wanita yang sungguh mencintaiku."

Kevin mengambil jaket cokelatnya dan segera meluncurkan Chevrolet Camaro putih miliknya. Sesaat kemudian ia mencari nama Suzan di kontak handphonenya lalu menekan tombol hijau.

"Halo Suzan. Datanglah ke tempat kencan pertama kita. Aku menunggumu di sana. 10 menit lagi aku tiba."

Belum sempat Suzan menjawab, Kevin langsung mematikan panggilannya. Sorot mata Kevin sangat tajam. 'Tidak akan. Tidak akan. Tidak akan' batin Kevin.

Setibanya di tempat pertemuan...

"Maaf sudah membuatmu menunggu. Ayo!" ajak Kevin sambil memegang tangan kanan Suzan.

Kevin mulai mengantri dan melihat layar, matanya dengan jeli mencari film yang sesuai untuk mereka. Ya, sekarang mereka sedang berada di bioskop, tempat kencan pertama mereka. Setelah memilih film Kevin dan Suzan pun segera masuk ke Studio 3. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Kevin maupun Suzan sejak masuk ke dalam studio hingga selama film diputar. Setelah filmnya selesai mereka masih diam. Kevin kembali memegang tangan Suzan dan mengajaknya pulang tanpa mengucapkan satu kata pun.

Di dalam mobil akhirnya Kevin memecah keheningan.

"Suzan, maafin aku. Sungguh aku sayang dan cinta sama kamu. Aku ga akan biarin kamu pergi. Aku ga mau kita jauh."
"Tapi, kemarin kamu bilang kalo kamu suka sama Audrey. Sekarang kamu bilang kamu cinta sama aku dan ga mau pisah sama aku?! Kamu pikir aku apa?" Suzan mulai emosi.
"Saat itu pikiranku sedang kacau. Aku hanya salah mengartikan perasaanku terhadap Audrey. Semua ini karena janjiku pada adik yang sangat kusayangi, Danar."

Aku sedang bermain gitar di dalam kamar. Kemudian telepon rumah berbunyi. Aku segera keluar dari kamar dan mengangkat telepon itu.
"Halo? Ya, saya Kevin, kakaknya Danar. Apa?! Danar kecelakaan?"

Aku segera pergi ke rumah sakit. Di perjalanan aku teringat pada Isabel. Wanita yang selama ini dekat dengan Danar bahkan aku pun kenal padanya. Aku segera meneleponnya dan mengabarkan apa yang telah terjadi. Setibanya di suatu ruangan di rumah sakit yang kulihat adalah Danar yang sedang terbaring kesakitan dengan berlumuran darah. Dadaku terasa sesak. Aku menghampirinya.

Ia pun berkata, "Kak, tolong jaga Audrey."
"Audrey? Siapa?"
"Dia pacar Danar. Tolong jaga Audrey.."

Danar pun pingsan. Aku keluar dari ruangan itu. Tidak lama kemudian dokter pun keluar dan mengatakan bahwa Danar koma. Lalu Isabel muncul dengan raut muka pucat. Kami masuk ke ruangan itu. Danar sedang tertidur dengan perban melingkari kepalanya. Isabel menangis sambil mencium tangan kanan Danar. Aku hanya bisa diam membisu dan membiarkan air mataku mengalir.

1 jam kemudian aku memutuskan pulang untuk mengambil pakaian Danar. Di kamar Danar aku baru teringat akan pesan Danar. Aku pun mengirimkan pesan kepada Audrey melalui handphone Danar. Aku benar-benar tidak sempat bertemu dan melihat wajah Audrey. Beberapa hari kemudian aku pun berhasil mendapatkan informasi tentang Audrey. Dan aku sangat terkejut, bagaimana bisa Audrey dan Isabel berteman baik? Apakah mereka tidak tahu bahwa di antara mereka ada cinta segitiga? Entahlah! Yang terpenting sekarang adalah aku harus menjaga Audrey seperti permintaan Danar.

"Lalu?" Suzan menunggu kata yang akan keluar dari mulut Kevin selanjutnya.
"Selama ini aku hanya terbawa suasana. Aku hanya ingin menjaga Audrey untuk Danar. Maafin aku karena aku begitu tega mengatakan semua itu kemarin. Maukah kau kembali padaku?" tanya Kevin
"Danar adalah orang baik. Kamu juga orang baik. Kemarin Audrey memiliki kamu sebagai pelindung dan penjaganya. Tapi sekarang, besok, dan selamanya aku yang memiliki kamu."

Kevin dan Suzan pun berpelukan. Suzan tersenyum bahagia, begitupun dengan Kevin. Kevin membelai rambut hitam Suzan.
******

To Be Continued . . .

Umi Yanti
1 Agustus 2014
Read the rest ^,^

Royals - Lorde

I've never seen a diamond in the flesh
I cut my teeth on wedding rings in the movies
And I'm not proud of my address,
In the torn-up town, no post code envy

But every song's like gold teeth, grey goose,
trippin' in the bathroom
Blood stains, ball gowns, trashin' the hotel room,
We don't care, we're driving Cadillacs in our dreams.

But everybody's like Cristal, Maybach,
diamonds on your time piece.
Jet planes, islands, tigers on a gold leash.
We don't care, we aren't caught up in your love affair.

And we'll never be royals (royals).
It don't run in our blood,
That kind of lux just ain't for us.
We crave a different kind of buzz.

Let me be your ruler (ruler),
You can call me queen Bee
And baby I'll rule, I'll rule, I'll rule, I'll rule.
Let me live that fantasy.
Read the rest ^,^